Rabu, 14 Mei 2014

Fatwa asy-Syeikh Zainuddin al-Malibari Tentang Amaliah Bid'ah di Hari Asyura'



Perhatian :
al-Imam asy-Syeikh Zainuddin bin asy-Syeikh Abdul Aziz al-Malibari asy-Syafi’I rahimahullah menyatakan :
وَاعْلَمْ أَنَّ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ مِنَ الْإِغْتِسَالِ وَلُبْسِ الثِّيَابِ الْجُدَدِ وَالْإِكْتِحَالِ وَالتَّطَيُّبِ وَالْإِخْتِضَابِ بِالْحِنَاءِ وَطَبْخِ الْأَطْعِمَةِ بِالْحُبُوْبِ وَصَلَاةِ رَكَعَاتٍ بِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ. فَالسُّنَّةُ تَرْكُ ذٰلِكَ كُلِّهِ لِأَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ وَلَا أَحَدٌ مِنَ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ وَغَيْرِهِمْ. وَمَا رُوِيَ فِيْهَا مِنَ الْأَحَادِيْثِ فَكَذِبٌ مَوْضُوْعٌ.
“Dan ketahuilah olehmu bahwasanya apa yang dilakukan oleh manusia di hari ‘asyura daripada mandi, memakai pakain yang serba baru, bercelak, berharum-haruman, memakai inai, memasak makanan dengan bijian[1], dan shalat beberapa raka’at. Maka semua itu termasuk bid’ah yang tercela, sunnah untuk meninggalkan semuanya. Sebab, semua itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw, para shahabatnya – ridhwanullahi ‘alaihim – maupun imam mazhab yang empat[2], dan selain mereka. Adapun riwayat-riwayat berupa hadist Nabi saw yang menyatakan demikian itu, maka itu dusta dan maudhu’.”[3]
Mengenai bercelak dan mandi misalnya, ada yang mengatakan :
مَنِ اكْتَحَلَ يَوْمَهُ لَمْ يَرْمُدْ ذٰلِكَ الْعَامَ وَمَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَهُ لَمْ يَمْرُضْ كَذٰلِكَ
“Siapa yang bercelak pada hari ‘asyura, tidak akan sakit mata pada tahun itu. Dan siapa yang mandi pada hari ‘asyura’ tidak akan sakit pada tahun itu.”[4]
Mengenai memasak makanan dengan biji-bijian, ada yang mengatakan[5] :
وَذٰلِكَ أَنَّ نُوْحًا عَلَيْهِ السَّلَامُ لَمَّا نَزَلَ مِنَ السَّفِيْنَةِ هُوَ وَمَنْ مَعَهُ شَكَوْا اَلْجُوْعَ وَقَدْ فَرَغَتْ أَزْوَادُهُمْ فَأَمَرَهُمْ أَنْ يَأْتُوْا بِفَضْلِ أَزْوَادِهِمْ فَجَاءَ هٰذَا بِكَفِّ حِنْطَةٍ وَهٰذَا بِكَفِّ فُوْلٍ وَهٰذَا بِكَفِّ حِمْصٍ إِلٰى أَنْ بَلَغَتْ سَبْعُ حُبُوْبٍ. وَكَانَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ، فَسَمَّى نُوْحٌ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَطَبَخَهَا لَهُمْ فَأَكَلُوْا جَمِيْعًا وَشَبِعُوْا بِبَرَكَاتِ نُوْحٍ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَذٰلِكَ قَوْلُهُ تَعَالٰى - قِيْلَ يَا نُوْحُ اهْبِطْ بِسَلَامٍ مِنَّا وَبَرَكَاتٍ عَلَيْكَ وَعَلٰى أُمَمٍ مِمَّنْ مَعَكَ -  وَكَانَ ذٰلِكَ أَوَّلُ طَعَامٍ طُبِخَ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ بَعْدَ الطُّوْفَانِ. فَاتَّخَذَهُ النَّاسُ سَنَةً يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَفِيْهِ أَجْرٌ عَظِيْمٌ لِمَنْ يَفْعَلُ ذٰلِكَ وَيَطْعَمُ الْفُقَرَاءَ وَالْمَسَاكِيْنَ.
“Manakala Nabi Nuh ‘alaihis salam turun dari kapal, beliau dan pengikut yang bersamanya, mereka mengadu akan kelaparan, sementara bekal mereka telah habis. Maka mereka disuruh untuk mengumpulkan sisa-sisa makanan. Maka ada yang membawa segenggam hinthah, segenggam ‘adas, segenggam fuul, segenggam himsh, sampai tujuh macam bijian. Peristiwa itu terjadi pada hari ‘asyura. Maka Nabi Nuh alaihis salam membaca bismillah pada makanan tersebut dan memasaknya untuk mereka. Maka semuanya memakan makanan tersebut dan semuanya kenyang dengan berkat Nabi Nuh ‘alaihis salam. Itulah firman Allah swt, “Difirmankan, Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkahan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mu'min) dari orang-orang yang bersamamu.” dan itu merupakan permulaan makanan yang dimasak di permukaan bumi sesudah thufan. Maka manusia menjadikannya dalam setahun tepatnya pada hari ‘asyura, dan padanya pahala yang besar bagi orang yang memperbuatnya dan memberikannya kepada orang-orang fakir dan miskin.”
Tetapi sebagaimana yang dikatakan oleh imam asy-Syeikh Zainuddin al-Malibari asy-Syafi’I, bahwa riwayat tersebut adalah dusta dan palsu (maudhu’). Wallahu a’lam bish shawab.



[1] Sebagian masyarakat mengistilahkannya dengan bubur ‘asyura’. Wallahu a’lam.
[2] Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi’, dan Imam Ahmad al-Hanbali.
[3] Imam asy-Syeikh Zainuddin al-Malibari asy-Syafi’i. Irsyadul Ibad, halaman 52. Cet. Al-Hidayah Surabaya tanpa tahun.
[4] Imam al-Allamah as-Sayyid Abu Bakar al-Bakri bin al-Ariif billah as-Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi. I’anatuth Thalibin 2/266. Cet. Al-Hidayah Surabaya tanpa tahun.

[5] Ibid, halaman 267.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar