Rabu, 28 Mei 2014

Khilafah Hanya 30 Tahun?


Benarkah Khilafah Hanya 30 Tahun?
Sebagian orang ada yang berpendapat bahwa setelah wafatnya Rasulullah saw, khilafah hanya berlangsung 30 tahun, sehingga menurut mereka, perjuangan menegakkan khilafah hanyalah pekerjaan yang sia-sia belaka. Diantara landasan atau dalil yang mereka pakai adalah hadist dibawah ini :
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُمْهَانَ عَنْ سَفِينَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « خِلاَفَةُ النُّبُوَّةِ ثَلاَثُونَ سَنَةً ثُمَّ يُؤْتِى اللَّهُ الْمُلْكَ - أَوْ مُلْكَهُ - مَنْ يَشَاءُ
“Dari Sa’id bin Jumhan dari Safinah, ia berkata :”Rasulullah saw bersabda,”Khilafah an-Nubuwwah berlangsung selama 30 tahun, kemudian Allah memberikan kerajaan atau kerajaan-Nya kepada orang yang Ia kehendaki.” (HR. Abu Dawud).
عن سعيد بن جمهان قال حدثني سفينة قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم الخلافة في أمتي ثلاثون سنة ثم ملك بعد ذلك
“Dari Sa’id bin Jumhan dari Safinah, ia berkata :”Rasulullah saw bersabda,”Khilafah pada umatku berlangsung selama 30 tahun, kemudian kerajaan setelah itu.” (HR. at-Tirmizdi)
Menurut mereka hadist tersebut sangat jelas dan tegas menyatakan bahwa kepemimpinan khilafah hanya berjalan 30 tahun sejak wafatnya Nabi saw. Setelah itu, umat islam akan dipimpin oleh system kerajaan.
Namun apakah benar khilafah itu hanya 30 tahun lamanya sejak wafatnya Nabi saw? Dalam tulisan ini saya mencoba untuk menjawab permasalahan bagi yang mempermasalahkan bahwa khilafah itu hanya berlangsung 30 tahun, Saya mencoba untuk menjawab hal tersebut dengan singkat dan ringkas :
1.    Bahwa pemahaman yang menyatakan bahwa khilafah itu hanya 30 tahun pasca wafatnya Rasulullah saw itu hanyalah berdasarkan pada makna harfiah hadist, padahal secara harfiah juga dalam hadist tersebut tidak disertai dengan adat al-hashr (alat untuk membatasi sesuatu) sehingga tidak bisa kita terjemahkan dengan “Khilafah hanya 30 tahun.” Menambah terjemahan “Hanya” berarti telah membatasinya.
2.    Bahwa yang dikehendaki dengan khilafah itu 30 tahun adalah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah atau khilafah yang masih murni berpegang pada minhaj nubuwwah (metode kenabian). Sedangkan setelah 30 tahun itu yakni setelah berakhirnya  kekhilafahan Ali bin Abi Thalib r.a atau Hasan bin Ali, atau sejak berkuasanya Khilafah Umayyah sampai yang terakhir Khilafah ustmaniyyah di Turki adalah khilafah ala minhajil mulkiyyah atau khilafah yang sudah menyimpang dari minhaj kenabian dan mengikuti minhaj muluk (system kerajaan) tetapi itupun hanya sebatas system warist atau putra mahkota, bukan dalam seluruh sistemnya sehingga menjadi mulkiyyah mahdhah (system kerajaan murni). Dan ini bisa kita lihat fakta sejarah bahwa para khalifah baik itu dari khilafah umayyah, Abbasiyah, dan Ustmaniyyah, semuanya menerapkan syari’at islam secara kaffah dalam kehidupan public, menjadikan mereka sebagai penguasa tunggal untuk kaum muslimin, melakukan futuhat-futuhat (penaklukan) sehingga wilayah islam menjadi semakin luas dan lain-lain. Jadi, dengan sedikit menyimpang dari minhaj kenabian, tidak serta merta menggugurkan khilafah dan menggantinya dengan mulkiyyah (kerajaan), karena yang menyimpang itu hanyalah sebatas system warist saja. Bukan secara keseluruhannya. Maka dari itu, kita tetap menyebutnya khilafah, tetapi khilafah ‘ala minhajil mulkiyyah yaitu khilafah yang mengikuti system kerajaan dalam hal mewaristkan kekuasaan, Bukan mulkiyyah mahdhah (system kerajaan murni).
Dalam hal ini, imam Ibnu hajar al-‘Asqalani menyatakan dalam kitab fathul Bari juz 12/392 sebagai berikut :
لأن المراد به خلافة النبوة واما معاوية ومن بعده فكان أكثرهم على طريقة الملوك ولو سموا خلفاء
“Karena sesungguhnya yang dimaksud dengan hadist ini (Bahwa khilafah sesudahku berjalan selama 30 tahun) adalah khilafah an-Nubuwwah. Adapun Muawiyyah dan penguasa sesudahnya, kebanyakan mereka mengikuti metode para raja, sekalipun mereka tetap dinamakan khalifah.”
Tetapi itu hanya sebatas pewaristan kekuasaan saja, bukan system secara keseluruhan. Karena itu, kita harus bisa membedakan antara system khilafah ‘ala minhaj mulkiyyah dengan system mulkiyyah mahdhah (system kerajaan murni). System khilafah ‘ala minhaj mulkiyyah  yaitu system yang mengikuti metode kerajaan dalam hal mewaristkan kekuasaan adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin dunia dan sistemnya tetap mengikuti sunnah khulafa al-rasyidun, Cuma ada sedikit penyimpangan yaitu mewaristkan kekuasaannya pada putra mahkota. Sedangkan sitem mulkiyyah mahdhah yaitu system kerajaan murni, yang kekuasaannya hanya sebatas wilayahnya saja, dan tidak mampu menggerakkan kaum muslimin untuk bersama-sama berjihad melakukan futuhat-futuhat (penaklukan) untuk mengemban risalah islam di seluruh penjuru dunia, bahkan juga tidak mampu untuk membela kaum muslimin yang bukan menjadi wilayahnya. Sebagai contoh adalah kerajaan Arab Saudi. Arab Saudi tidak bisa kita katakan menganut system khilafah ‘ala minhajil mulkiyyah, apakanlagi system khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, yang tepat adalah Arab Saudi menganut system mulkiyyah mahdhah, ini bisa kita lihat fakta sekarang, dimana kerajaan Arab Saudi tidak mampu menggerakan kaum muslimin untuk melakukan jihad melawan orang kafir Yahudi disaat kaum muslimin Palestina dijajah oleh mereka, apakan lagi untuk melakukan futuhat (penaklukan) dalam rangka memperluas wilayah islam dan mengemban dakwah islam diseluruh penjuru dunia. Lebih dari itu, bahkan untuk melakukan pembelaan terhadap saudara-saudaranya kaum muslimin diwilayah yang terdekat dengan Arab Saudi, pun mereka tidak mampu.
3.    Bahwa ketika ada sedikit penyimpangan pada Muawiyyah r.a dan khalifah-khalifah sesudahnya, tidak serta merta menggugurkan sistemnya, selama memang yang dijalankannya itu adalah system khilafah, misalnya tetap menjadikan mereka sebagai penguasa tunggal untuk seluruh kaum muslimin, kedaulatan ada pada syara’, kekuasaan ada pada umat serta tabanni hukum ada pada khalifah. Dan semua ini terus berlaku sejak Muawiyyah dan sesudahnya berkuasa sampai terakhir Khilafah Ustmaniyyah. Tugas para ulama adalah muhasabatul hukkam (mengoreksi para penguasa) jika terjadi penyimpangan. Dan itulah yang dilakukan oleh para ulama-ulama terdahulu, sehingga tidak sedikit yang akhirnya mereka menjadi korban.
Lihat bagaimana Safinah r.a seorang shahabat, menganggap bahwa Bani Umayyah itu berbohong ketika mereka menyangka bahwa khilafah ada pada mereka dan menganggap Muawiyyah adalah raja pertama dalam islam. Al-Hafizh Jalaluddin as-Sayuthi mengatakan dalam kitab Tarikh al-Khulafa’ :
اَخْرَجَ إِبْنُ أَبِىْ شَيْبَةَ فِى الْمُصَنَّفِ عَنْ سَعِيْد بْنِ جُمْهَانَ قَالَ : قُلْتُ لِسَفِيْنَةَ : اِنَّ بَنِىْ اُمَيَّةَ يَزْعُمُوْنَ أَنَّ الْخِلَافَةَ فِيْهِمْ. قَالَ : كَذَبَ بَنُوْ الزرقاء بَلْ هُمْ مُلُوْك مِنْ أَشَدِّ الْمُلُوْكِ وَاَوَّلُ الْمُلُوْكِ مُعَاوِيَةُ.
“Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam kitab al-Mushannaf dari Sa’id bin Jumhan, ia berkata : “Aku berkata kepada Safinah, “Sesungguhnya Bani Umayyah menyangka bahwa khilafah ada pada mereka.” Safinah menjawab, “Mereka (Bani Umayyah) berbohong. Justru mereka adalah para raja diantara raja-raja yang paling kejam. Sedangkan raja pertama adalah Muawiyyah.”
Maka pernyataan bahwa Bani umayyah merupakan para raja diantara raja yang paling kejam dan raja pertama adalah Muawiyyah adalah sebagai bentuk pengingkaran terhadap Bani Umayyah (Muawiyyah) yang telah merubah dari khilafah ‘ala minhajin nubuwwah menjadi khilafah ‘ala minhajil muluk dari sisi pewaristan kekuasaan kepada putra mahkota (Yazid bin Muawiyyah).
Jika kita perhatikan fakta sejarah bahwa kesalahan Muawiyyah hanyalah sebatas mewaristkan kekuasaan/jabatan khalifah kepada anaknya (Yazid), sedangkan hukum yang dijalankannya tetap hukum syari’at islam dengan system  khilafah. Maka para ulama mengingkarinya sehingga menyebut Muawiyyah sebagai raja pertama dalam islam (bukan berarti mereka tidak mengakui Muawiyyah sebagai khalifah kaum muslimin, sekali lagi saya tegaskan bahwa ini hanyalah bentuk pengingkaran mereka terhadap Muawiyyah yang mengikuti metode kerajaan dalam hal mewaristkan kekuasaan). Maka bisa kita bayangkan, andai saja para ulama salafusshaleh tersebut masih hidup dan menyaksikan kondisi saat ini, dimana banyak hukum-hukum Allah diabaikan, system yang dijalankan bukan system islam (khilafah), tetapi yang dipakai oleh penguasa saat ini adalah system bikinan barat yakni sekularisme yang melahirkan ide-ide sesat seperti demokrasi, kapitalisme, liberalism, HAM. Maka pasti mereka akan mengingkarinya, bahkan mungkin melebihi pengingkaran mereka terhadap Muawiyyah r.a.
Karena itulah para ulama diantara imam al-Hafizh Jalaluddin as-Sayuthi, memasukan Muawiyyah dan penguasa sesudahnya sebagai khalifah. Ini bisa kita lihat dalam kitab tarikh beliau bernama Tarikh al-Khulafa’, yang membicarakan tentang perjalanan hidup para khalifah mulai khulafaurrasyidin, khalifah-khalifah dari Bani Umayyah, juga khalifah-khalifah dari Bani Abbasiyah.
Diantara pernyataan imam as-Sayuthi yang memasukan Muawiyyah sebagai khalifah, bisa dilihat dalam kitab Tarikh al-Khulafa’ :
قلت : و على هذا فقد وجد من الاثني عشر خليفة الخلفاء الأربعة و الحسن و معاوية و ابن الزبير و عمر بن عبد العزيز هؤلاء ثمانية و يحتمل أن يضم إليهم المهتدي من العباسيين لأنه فيهم كعمر بن عبد العزيز في بني أمية و كذلك الطاهر لما أوتيه من العدل و بقي الاثنان المنتظران أحدهما المهدي لأنه من آل بيت محمد صلى الله عليه و سلم
“Aku katakan, “Atas dasar pendapat ini, maka sungguh diperdapati 12 khalifah yakni para khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali), al-Hasan (bin Ali), Muawiyyah, Ibnu Zubair, Umar bin Abdul Aziz. Mereka semuanya berjumlah delapan. Dan dapat dikumpulkan kepada mereka al-Muhtadi dari Bani Abbasiah, karena ia pada mereka seperti Umar bin Abdul Aziz dari Bani Umayyah. Begitu juga ath-Thahir, karena keadilannya. Dan masih tersisa dua khalifah yang masih ditunggu keduanya, salah satunya adalah al-Mahdi, sebab ia merupakan ahlu bait (keturunan) Nabi Muhammad saw.”
Dengan demikian semakin jelas bahwa ketika Safinah r.a (shahabat) dan juga ulama-ulama yang lain, ketika menamai Muawiyah sebagai raja, bahkan raja pertama dalam islam, itu hanyalah sebagai nahi munkar, bentuk penolakan dan pengingkaran mereka terhadap Muawiyyah r.a ketika mewaristkan kekuasaannya kepada anaknya (Yazid).
Karena itu, disebutkan dalam kitab Mirqah al-Mafatih Syarah Misykah al-Mashabih :
عن سفينة روي عنه بنوه عبد الرحمٰن ومحمد وزياد وكثير قال سمعت النبى صلى الله عليه وسلم يقول الخلافة اي الحقة او المرضية لله ورسوله او الكاملة او المتصلة ثلاثون سنة ثم تكون اي تنقلب الخلافة وترجع ملكا بضم الميم اي سلطنة وغلبة على اهل الحق. قال في شرح العقائد وهذا مشكل لان اهل الحل والعقد كانوا متفقين على خلافة الخلفاء العباسية وبعض المروانية كعمر بن عبد العزيز. ولعل المراد ان الخلافة الكاملة التى لا يشوبها شيء من المخالفة وميل عن المتابعة تكون ثلاثين سنة وبعدها قد تكون وقد لا تكون.
“Dari Safinah, meriwayatkan darinya oleh anak-anaknya yaitu Abdurrahman, Muhammad, Ziyad, dan Kastir. Ia berkata, “Aku mendengar Nabi saw bersabda :”Khilafah yakni Khilafah yang benar, atau Khilafah yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, atau Khilafah yang sempurna, atau yang bersambung (khilafah nubuwwah) adalah 30 tahun. Kemudian khilafah itu menjadi mulk (kerajaan) (barisnya) dengan Dhammah mim, yakni menjadi sulthanah (kesultanan) yang menguasai ahlul hak. Ia berkata dalam Syarah al-‘Aqaid, “Ini musykil (sulit), sebab ahlul halli wal ‘aqdi telah sepakat atas kekhilafahan para khalifah dari khilafah Abbasiah dan sebagian khalifah Marwaniyyah seperti Umar bin Abdul Aziz. Barangkalinya yang dimaksud adalah khilafah yang sempurna yang tidak menyimpang sedikit pun dari mukhalafah (menyalahi Sunnah Nabi saw) dan mutaba’ah (mengikuti perjalanan Nabi saw). Itu berjalan selama 30 tahun (khilafah ‘ala minhajin nubuwwah). Sedangkan khilafah sesudahnya, bisa saja menyimpang, bisa juga tidak menympang.”
Disini cukup jelas dinyatakan bahwa yang dimaksud oleh Nabi saw bahwa khilafah itu berjalan selama 30 tahun adalah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, karena tidak menyimpang dari sunnah dan perjalanan Nabi saw. Adapun setelahnya bisa saja menyimpang, tetapi tidak menggugurkan sistemnya yakni system khilafah seperti khilafah Umayyah, khilafah Abbasiah, juga khilafah Ustmaniyyah. Demikian juga penamaannya dengan nama kesultanan dan penguasanya disebut sultan, juga tidak bisa menggugurkannya dari system khilafah (‘ala minhajil muluk). Sebab, selama system yang dipakai adalah system khilafah, maka penamaan dari selain khilafah, tidak menjadi persoalan. Karena itu, ulama tidak mempermasalahkan penamaan kepada penguasa dari khilafah Ustmaniyyah dengan sebutan sultan, seperti sultan Muhammad al-Fatih (penakluk Konstantinopel), karena beliau sah secara hukum syara’ sebagai khalifah.
4.    Dari sisi lain, para ulama diantara imam asy-Syafi’I dan imam Sufyan ats-Stauri memasukan Umar bin Abdul Aziz kedalam kelompok khalifah.
Berikut ini adalah pernyataan Imam asy-syafi’I yang memasukan Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah, seperti yang dikutip oleh imam Ibnu Abi Hatim ar-Rozi dalam kitab Adab asy-Syafi’I wa manaqibuhu :
عن حرملة قال : سمعت الشافعي يقول : الخلفاء خمسة ابو بكر وعمر وعثمان وعلي وعمر بن عبد العزيز رضي الله عنهم
“Harmalah berkata, “Aku mendengar asy-Syafi’I berkata :”Para khalifah itu ada lima, yaitu Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali, dan Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu ‘anhum”.
 Maka, jika Umar bin Abdul Aziz rha yang merupakan Taabi’ Tabi’iin masuk dalam kelompok khalifah, maka tentu yang lebih berhak adalah Muawiyah bin Abi Sufyan r.a, karena beliau merupakan shahabat Nabi saw yang terkemuka. Kalau Umar bin Abdul Aziz masuk dalam jajaran khalifah karena keadilannya, tentunya Muawiyyah lebih berhak masuk dalam jajaran khalifah, karena keadilan shahabat lebih utama ketimbang keadilan Tabi’iin.
Dalam syarah Aqidah Thahawiyyah disebutkan :
بل لو كان ثَمَّ خامس فالأحق به معاوية بن أبي سفيان فهو أفضل من عمر بن عبد العزيز بلا شك لأنَّهُ:
- اجتمع عليه الناس.
- وصار في مدته إغاظة للكافرين.
- ولأنه هو صاحب رسول الله صلى الله عليه وسلم وكاتب الوحي، وقد قال ابن مسعود (لَمُقام أحدهم ساعة مع رسول الله صلى الله عليه وسلم خير من عبادة أحدكم كذا وكذا سنة)
“Tetapi jika ada khalifah yang kelima (dengan nama khulafa ar-rasyidun), maka yang paling berhak dengannya adalah Muawiyyah bin Abi Sufyan, beliau itu lebih utama dari Umar bin Abdul Aziz rha dengan tanpa keraguan, karena :
a.    Umat islam bersatu (dibawah kekuasaannya)
b.    Pada masanya, orang-orang kafir dibuat marah
c.    Muawiyyah adalah shahabat Rasulullah saw dan penulis wahyu. Sungguh Ibnu Mas’ud berkata, “Sungguh menetapnya salah seorang shahabat satu waktu bersama Rasulullah saw itu lebih baik dari ibadah salah seorang diantara kalian selama sekian tahun.”
5.    Bahwa ada dua riwayat dalam hal ini. Yang pertama Nabi saw menyebutkan bahwa khilafah sesudahku berlangsung 30 tahun. Dan yang kedua Nabi saw menyebutkan bahwa khilafah ‘ala minhajin nubuwwah berlangsung 30 tahun. Berarti ada yang secara umum (tanpa disertai dengan kalimat ‘ala minhajin nubuwwah), ada yang secara khusus yaitu khilafah ‘ala minhajin nubuwwah berlangsung 30 tahun. Dalam kaidah disebutkan bahwa :
وَالْخَاصُّ مُقَدَّمٌ عَلَى الْعَامِّ
“Dalil khusu didahulukan atas dalil umum”
Dengan demikian, jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan khilafah itu 30 tahun adalah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, bukan khilafah secarah keseluruhannya. Karena mendahulukan dalil khusus atas dalil umum.
Walaupun demikian, ada hadist yang menyatakan bahwa khilafah ‘ala minhajin nubuwwah itu akan kembali lagi. Rasulullah saw bersabda :
تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ اللهُ اَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا اِذَا شَاءَ اَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ اَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا اِذَا شَاءَ اللهُ اَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًا فَيَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ اَنْ يَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا اِذَا شَاءَ اَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ اَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا اِذَا شَاءَ اَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ.
Artinya :”Fase kenabian ada ditengah-tengah kalian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Lalu akan ada fase khilafah bedasarkan metode kenabian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Lalu akan ada fase penguasa yang zhalim. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Lalu akan ada fase penguasa diktator. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia akan mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Selanjutnya akan datang kembali khilafah berdasarkan metode kenabian. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diam.” (HR. Ahmad dan ath-Thayalisi dengan sanad yang hasan).
6.    Jika kita menyatakan bahwa khilafah itu hanya 30 tahun, berarti berseberangan dengan pendapat para ulama ahlus sunnah wal jama’ah yang menyatakan bahwa khilafah atau imamah itu wajib. Tidak ada satu ulama pun baik itu dari generasi salaf maupun khalaf yang hidup pasca periode 30 tahun yang menyatakan bahwa khilafah itu tidak wajib. Kecuali segelintir ulama dari kalangan muktazilah seperti al-Asham, al-futhi, juga ulama liberal. Berikut ini penuturan ulama yang hidup pasca peride 30 tahun yang menyatakan menegakkan khilafah itu wajib. Saya hanya menyebutkan disini sebagian saja, selebihnya bisa dibuka sendiri :

Asy-Syeikh Abdur Rahman al-Jaziri mengatakan dalam kitab “Al-Fiqh Alaa al-Mazhahib al-Arba’ah” juz 5 halaman : 197 :
اتفق الأئمة رحمهم الله تعالى على : أن الإمامة فرض وأنه لا بد للمسليمن من إمام يقيم شعائر الدين وينصف المظلومين من الظالمين وعلى أنه لا يجوز أن يكون على المسلمين في وقت واحد في جميع الدنيا إمامان لا متفقان ولا مفترقان
Artinya :”Para imam –rahimahumullah- telah sepakat bahwa imamah (khilafah) wajib (fardhu) adanya. Dan bahwasanya kaum muslimin wajib mempunyai seorang imam (Khalifah) yang akan meninggikan syiar-syiar agama, menolong orang yang teraniaya dari yang menagniayanya. (dan mereka juga sepakat) bahwa tidak bagi kaum muslimin dalam waktu yang bersamaan di seluruh Dunia mempunya dua orang imam (khalifah) baik keduanya sepakat maupun tidak.”

Dalam kitab ‘Aqidah Ahlussunnah Waljama’ah Fii ash-Shabah al-Kiraam, juz 2 halaman 506, disebutkan :
أجمع عامة المسلمين على وجوب نصب إمام للأمة يقيم لهم أحكام شرع الله ولم يخالف هذا الإجماع إلا النجدات من الخوارج والأصم والفوطي من المعتزلة. قال أبو محمد بن حزم: "اتفق جميع أهل السنة وجميع المرجئة وجميع الشيعة وجميع الخوارج على وجوب الإمامة وأن الأمة واجب عليها الانقياد لإمام عادل يقيم فيهم أحكام الله ويسوسهم بأحكام الشريعة التي أتى بها رسول الله صلى الله عليه وسلم حاشا النجدات من الخوارج فإنهم قالوا: لا يلزم الناس فرض الإمامة وإنما عليهم أن يتعاطوا الحق بينهم وهذه فرقة ما نرى بقي منهم أحد وهم المنسوبون إلى نجدة بن عمير الحنفي القائم باليمامة .فأهل السنة والجماعة مذهبهم أن نصب الإمام الأعظم واجب بنص الشرع الحنيف لتجتمع به كلمة المسلمين وتنفذ به أحكام الشريعة وهذا المذهب هو المذهب الحق المؤيد بالأدلة الشرعية من الكتاب والسنة والإجماع
“Sepakat kaum muslimin atas kewajiban mengangkat imam (khalifah) bagi umat yang menegakkan hukum-hukum yang telah disyare’atkan Allah untuk mereka. Tidak ada satupun (dari kaum muslimin) yang menyelisihi ijma’ (kesepakatan) ini selain sekte najdah dari khawarij, al-Asham, al-Futhi dari mu’tazilah. Berkata Abu Muhammad bin Hazm :”Semua Ahlussunnah, semua Murji’ah, semua Syi’ah, dan semua Khawarij telah sepakat atas wajibnya imamah, dan bahwa umat wajib tunduk bagi imam (khalifah) yang adil, yang menegakkan hukum-hukum Allah untuk mereka, mengatur mereka dengan hukum-hukum syari’at yang telah dibawa oleh Rasulullah saw selain sekte najdah dan khawarij, karena mereka berkata :”Kefardhuan imamah tidak mengikat manusia, dan bahwasanya yang atas mereka adalah menjalankan hak antara mereka.” Kelompok ini tidak ada lagi yang tersisa satu pun dan mereka itu dinisbahkan kepada Najdah bin Umair al-Hanafi yang menetap di al-Yamamah. Mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah menyatakan bahwa mengangkat imam al-‘Azham (khalifah) adalah wajib dengan nash syara’ yang lurus, supaya kalimat (umat) kaum muslimin menjadi satu, dan terlaksananya hukum-hukum syare’at. (pendapat) Mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah ini adalah mazhab yang hak (benar) yang dikuatkan dengan dalil-dalil syare’at yakni al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’.
7.    Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan khilafah hanya 30 tahun adalah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Bukan khilafah secara keseluruhannya. Artinya bahwa setelah masa 30 tahun sejak wafatnya Nabi saw, ada sedikit penyimpangan disitu sini, tetapi tidak sampai kepada menggugurkan sistemnya secara keseluruhan melainkan sejak diruntuhkannya khilafah Ustmaniyyah oleh Mustafa Kamal at-Taruk dengan bantuan Inggris pada bulan Maret 1924 M, maka sejak saat itu sampai sekarang umat islam kehilangan institusi yang melindungi mereka dari dominasi ideology barat, umat islam kehilangan kepemimpinan tunggal, umat islam islam mengalami kemunduran akibat tidak diterapkannya syari’ah islam secara kaffah, maka sebagai bentuk amar ma’ruf nahi munkar, umat islam wajib mengembalikan kekhilafahan untuk mengembalikan kejayaan islam dan kaum muslimin. Karena itu, tidak ada alasan lagi untuk tidak memperjuangkan dan mendukung penegakkan kembali khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, karena dalil dan landasannya sangat jelas, daripada kita berjuang kepada system yang tidak  ada landasannya sama sekali dalam islam yakni demokrasi. Bukan pahala yang didapatkan, justru dosa yang akan didapatkan. Nauzdu billah min zdalik walaa haula walaa quwata illa billah.
8.    Terakhir harapan saya semoga Allah swt memberikan keistiqamahan kepada kita semua untuk senantiasa memperjuangkan tegaknya kembali khilafah al-islamiyyah, sebab “Tiada ada kemulian keculi dengan islam, tiada sempurna islam kecuali dengan diterapkannya syari’ahnya dan tidak dapat tegak syari’ah kecuali dalam naungan institusi khilafah al-islamiyyah.”
Wallahu ‘alam bish shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar