Benarkah Khilafah Hanya 30 Tahun?
Sebagian orang ada yang berpendapat bahwa setelah wafatnya
Rasulullah saw, khilafah hanya berlangsung 30 tahun, sehingga menurut mereka,
perjuangan menegakkan khilafah hanyalah pekerjaan yang sia-sia belaka. Diantara
landasan atau dalil yang mereka pakai adalah hadist dibawah ini :
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُمْهَانَ عَنْ سَفِينَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « خِلاَفَةُ النُّبُوَّةِ ثَلاَثُونَ
سَنَةً ثُمَّ يُؤْتِى اللَّهُ الْمُلْكَ - أَوْ مُلْكَهُ - مَنْ يَشَاءُ
“Dari
Sa’id bin Jumhan dari Safinah, ia berkata :”Rasulullah saw bersabda,”Khilafah
an-Nubuwwah berlangsung selama 30 tahun, kemudian Allah memberikan kerajaan
atau kerajaan-Nya kepada orang yang Ia kehendaki.” (HR. Abu Dawud).
عن سعيد بن جمهان قال حدثني سفينة قال : قال رسول
الله صلى الله عليه و سلم الخلافة في أمتي ثلاثون سنة ثم ملك بعد ذلك
“Dari
Sa’id bin Jumhan dari Safinah, ia berkata :”Rasulullah saw bersabda,”Khilafah
pada umatku berlangsung selama 30 tahun, kemudian kerajaan setelah itu.” (HR.
at-Tirmizdi)
Menurut mereka hadist tersebut sangat jelas dan tegas
menyatakan bahwa kepemimpinan khilafah hanya berjalan 30 tahun sejak wafatnya
Nabi saw. Setelah itu, umat islam akan dipimpin oleh system kerajaan.
Namun apakah benar khilafah itu hanya 30 tahun lamanya sejak
wafatnya Nabi saw? Dalam tulisan ini saya mencoba untuk menjawab permasalahan
bagi yang mempermasalahkan bahwa khilafah itu hanya berlangsung 30 tahun, Saya
mencoba untuk menjawab hal tersebut dengan singkat dan ringkas :
1. Bahwa pemahaman
yang menyatakan bahwa khilafah itu hanya 30 tahun pasca wafatnya Rasulullah saw
itu hanyalah berdasarkan pada makna harfiah hadist, padahal secara harfiah juga
dalam hadist tersebut tidak disertai dengan adat al-hashr (alat untuk membatasi
sesuatu) sehingga tidak bisa kita terjemahkan dengan “Khilafah hanya
30 tahun.” Menambah terjemahan “Hanya” berarti telah membatasinya.
2. Bahwa yang
dikehendaki dengan khilafah itu 30 tahun adalah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah
atau khilafah yang masih murni berpegang pada minhaj nubuwwah (metode
kenabian). Sedangkan setelah 30 tahun itu yakni setelah berakhirnya kekhilafahan Ali bin Abi Thalib r.a atau Hasan
bin Ali, atau sejak berkuasanya Khilafah Umayyah sampai yang terakhir Khilafah
ustmaniyyah di Turki adalah khilafah ala minhajil mulkiyyah atau khilafah yang
sudah menyimpang dari minhaj kenabian dan mengikuti minhaj muluk (system
kerajaan) tetapi itupun hanya sebatas system warist atau putra mahkota, bukan
dalam seluruh sistemnya sehingga menjadi mulkiyyah mahdhah (system kerajaan
murni). Dan ini bisa kita lihat fakta sejarah bahwa para khalifah baik itu dari
khilafah umayyah, Abbasiyah, dan Ustmaniyyah, semuanya menerapkan syari’at
islam secara kaffah dalam kehidupan public, menjadikan mereka sebagai penguasa
tunggal untuk kaum muslimin, melakukan futuhat-futuhat (penaklukan) sehingga
wilayah islam menjadi semakin luas dan lain-lain. Jadi, dengan sedikit
menyimpang dari minhaj kenabian, tidak serta merta menggugurkan khilafah dan
menggantinya dengan mulkiyyah (kerajaan), karena yang menyimpang itu hanyalah
sebatas system warist saja. Bukan secara keseluruhannya. Maka dari itu, kita
tetap menyebutnya khilafah, tetapi khilafah ‘ala minhajil mulkiyyah yaitu
khilafah yang mengikuti system kerajaan dalam hal mewaristkan kekuasaan, Bukan
mulkiyyah mahdhah (system kerajaan murni).
Dalam hal ini, imam Ibnu hajar al-‘Asqalani menyatakan dalam
kitab fathul Bari juz 12/392 sebagai berikut :
لأن المراد به
خلافة النبوة واما معاوية ومن بعده فكان أكثرهم على طريقة الملوك ولو سموا خلفاء
“Karena sesungguhnya yang dimaksud dengan hadist ini (Bahwa
khilafah sesudahku berjalan selama 30 tahun) adalah khilafah an-Nubuwwah. Adapun
Muawiyyah dan penguasa sesudahnya, kebanyakan mereka mengikuti metode para
raja, sekalipun mereka tetap dinamakan khalifah.”
Tetapi itu hanya sebatas pewaristan kekuasaan saja, bukan
system secara keseluruhan. Karena itu, kita harus bisa membedakan antara system
khilafah ‘ala minhaj mulkiyyah dengan system mulkiyyah mahdhah
(system kerajaan murni). System khilafah ‘ala minhaj mulkiyyah yaitu system yang mengikuti metode kerajaan
dalam hal mewaristkan kekuasaan adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum
muslimin dunia dan sistemnya tetap mengikuti sunnah khulafa al-rasyidun, Cuma
ada sedikit penyimpangan yaitu mewaristkan kekuasaannya pada putra mahkota.
Sedangkan sitem mulkiyyah mahdhah yaitu system kerajaan murni, yang
kekuasaannya hanya sebatas wilayahnya saja, dan tidak mampu menggerakkan kaum
muslimin untuk bersama-sama berjihad melakukan futuhat-futuhat (penaklukan)
untuk mengemban risalah islam di seluruh penjuru dunia, bahkan juga tidak mampu
untuk membela kaum muslimin yang bukan menjadi wilayahnya. Sebagai contoh
adalah kerajaan Arab Saudi. Arab Saudi tidak bisa kita katakan menganut system
khilafah ‘ala minhajil mulkiyyah, apakanlagi system khilafah ‘ala minhajin
nubuwwah, yang tepat adalah Arab Saudi menganut system mulkiyyah mahdhah, ini
bisa kita lihat fakta sekarang, dimana kerajaan Arab Saudi tidak mampu
menggerakan kaum muslimin untuk melakukan jihad melawan orang kafir Yahudi
disaat kaum muslimin Palestina dijajah oleh mereka, apakan lagi untuk melakukan
futuhat (penaklukan) dalam rangka memperluas wilayah islam dan mengemban dakwah
islam diseluruh penjuru dunia. Lebih dari itu, bahkan untuk melakukan pembelaan
terhadap saudara-saudaranya kaum muslimin diwilayah yang terdekat dengan Arab
Saudi, pun mereka tidak mampu.
3. Bahwa ketika ada
sedikit penyimpangan pada Muawiyyah r.a dan khalifah-khalifah sesudahnya, tidak
serta merta menggugurkan sistemnya, selama memang yang dijalankannya itu adalah
system khilafah, misalnya tetap menjadikan mereka sebagai penguasa tunggal
untuk seluruh kaum muslimin, kedaulatan ada pada syara’, kekuasaan ada pada
umat serta tabanni hukum ada pada khalifah. Dan semua ini terus berlaku sejak
Muawiyyah dan sesudahnya berkuasa sampai terakhir Khilafah Ustmaniyyah. Tugas
para ulama adalah muhasabatul hukkam (mengoreksi para penguasa) jika terjadi
penyimpangan. Dan itulah yang dilakukan oleh para ulama-ulama terdahulu,
sehingga tidak sedikit yang akhirnya mereka menjadi korban.
Lihat bagaimana Safinah r.a seorang shahabat, menganggap
bahwa Bani Umayyah itu berbohong ketika mereka menyangka bahwa khilafah ada
pada mereka dan menganggap Muawiyyah adalah raja pertama dalam islam. Al-Hafizh
Jalaluddin as-Sayuthi mengatakan dalam kitab Tarikh al-Khulafa’ :
اَخْرَجَ إِبْنُ أَبِىْ شَيْبَةَ فِى الْمُصَنَّفِ عَنْ
سَعِيْد بْنِ جُمْهَانَ قَالَ : قُلْتُ لِسَفِيْنَةَ : اِنَّ بَنِىْ اُمَيَّةَ يَزْعُمُوْنَ
أَنَّ الْخِلَافَةَ فِيْهِمْ. قَالَ : كَذَبَ بَنُوْ الزرقاء بَلْ هُمْ مُلُوْك مِنْ
أَشَدِّ الْمُلُوْكِ وَاَوَّلُ الْمُلُوْكِ مُعَاوِيَةُ.
“Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam kitab al-Mushannaf dari
Sa’id bin Jumhan, ia berkata : “Aku berkata kepada Safinah, “Sesungguhnya Bani
Umayyah menyangka bahwa khilafah ada pada mereka.” Safinah menjawab, “Mereka
(Bani Umayyah) berbohong. Justru mereka adalah para raja diantara raja-raja
yang paling kejam. Sedangkan raja pertama adalah Muawiyyah.”
Maka pernyataan bahwa Bani umayyah merupakan para raja
diantara raja yang paling kejam dan raja pertama adalah Muawiyyah adalah
sebagai bentuk pengingkaran terhadap Bani Umayyah (Muawiyyah) yang telah merubah
dari khilafah ‘ala minhajin nubuwwah menjadi khilafah ‘ala minhajil muluk dari
sisi pewaristan kekuasaan kepada putra mahkota (Yazid bin Muawiyyah).
Jika kita perhatikan fakta sejarah bahwa kesalahan Muawiyyah
hanyalah sebatas mewaristkan kekuasaan/jabatan khalifah kepada anaknya (Yazid),
sedangkan hukum yang dijalankannya tetap hukum syari’at islam dengan
system khilafah. Maka para ulama
mengingkarinya sehingga menyebut Muawiyyah sebagai raja pertama dalam islam
(bukan berarti mereka tidak mengakui Muawiyyah sebagai khalifah kaum muslimin,
sekali lagi saya tegaskan bahwa ini hanyalah bentuk pengingkaran mereka
terhadap Muawiyyah yang mengikuti metode kerajaan dalam hal mewaristkan
kekuasaan). Maka bisa kita bayangkan, andai saja para ulama salafusshaleh
tersebut masih hidup dan menyaksikan kondisi saat ini, dimana banyak
hukum-hukum Allah diabaikan, system yang dijalankan bukan system islam
(khilafah), tetapi yang dipakai oleh penguasa saat ini adalah system bikinan
barat yakni sekularisme yang melahirkan ide-ide sesat seperti demokrasi, kapitalisme,
liberalism, HAM. Maka pasti mereka akan mengingkarinya, bahkan mungkin melebihi
pengingkaran mereka terhadap Muawiyyah r.a.
Karena itulah para ulama diantara imam al-Hafizh Jalaluddin
as-Sayuthi, memasukan Muawiyyah dan penguasa sesudahnya sebagai khalifah. Ini
bisa kita lihat dalam kitab tarikh beliau bernama Tarikh al-Khulafa’, yang
membicarakan tentang perjalanan hidup para khalifah mulai khulafaurrasyidin,
khalifah-khalifah dari Bani Umayyah, juga khalifah-khalifah dari Bani
Abbasiyah.
Diantara pernyataan imam as-Sayuthi yang memasukan Muawiyyah
sebagai khalifah, bisa dilihat dalam kitab Tarikh al-Khulafa’ :
قلت : و على هذا فقد وجد من الاثني عشر
خليفة الخلفاء الأربعة و الحسن و معاوية و ابن الزبير و عمر بن عبد العزيز هؤلاء
ثمانية و يحتمل أن يضم إليهم المهتدي من العباسيين لأنه فيهم كعمر بن عبد العزيز
في بني أمية و كذلك الطاهر لما أوتيه من العدل و بقي الاثنان المنتظران أحدهما
المهدي لأنه من آل بيت محمد صلى الله عليه و سلم
“Aku katakan, “Atas dasar pendapat ini, maka sungguh
diperdapati 12 khalifah yakni para khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar,
Ustman, dan Ali), al-Hasan (bin Ali), Muawiyyah, Ibnu Zubair, Umar bin Abdul
Aziz. Mereka semuanya berjumlah delapan. Dan dapat dikumpulkan kepada mereka al-Muhtadi
dari Bani Abbasiah, karena ia pada mereka seperti Umar bin Abdul Aziz dari Bani
Umayyah. Begitu juga ath-Thahir, karena keadilannya. Dan masih tersisa dua
khalifah yang masih ditunggu keduanya, salah satunya adalah al-Mahdi, sebab ia
merupakan ahlu bait (keturunan) Nabi Muhammad saw.”
Dengan demikian semakin jelas bahwa ketika Safinah r.a
(shahabat) dan juga ulama-ulama yang lain, ketika menamai Muawiyah sebagai
raja, bahkan raja pertama dalam islam, itu hanyalah sebagai nahi munkar, bentuk
penolakan dan pengingkaran mereka terhadap Muawiyyah r.a ketika mewaristkan
kekuasaannya kepada anaknya (Yazid).
Karena itu, disebutkan dalam kitab
Mirqah al-Mafatih Syarah Misykah al-Mashabih :
عن سفينة روي عنه بنوه
عبد الرحمٰن ومحمد وزياد وكثير قال سمعت النبى صلى الله عليه وسلم يقول الخلافة اي
الحقة او المرضية لله ورسوله او الكاملة او المتصلة ثلاثون سنة ثم تكون اي تنقلب الخلافة
وترجع ملكا بضم الميم اي سلطنة وغلبة على اهل الحق. قال في شرح العقائد وهذا مشكل لان
اهل الحل والعقد كانوا متفقين على خلافة الخلفاء العباسية وبعض المروانية كعمر بن عبد
العزيز. ولعل المراد ان الخلافة الكاملة التى لا يشوبها شيء من المخالفة وميل عن المتابعة
تكون ثلاثين سنة وبعدها قد تكون وقد لا تكون.
“Dari Safinah, meriwayatkan darinya oleh anak-anaknya yaitu
Abdurrahman, Muhammad, Ziyad, dan Kastir. Ia berkata, “Aku mendengar Nabi saw
bersabda :”Khilafah yakni Khilafah yang benar, atau Khilafah yang diridhai
Allah dan Rasul-Nya, atau Khilafah yang sempurna, atau yang bersambung
(khilafah nubuwwah) adalah 30 tahun. Kemudian khilafah itu menjadi mulk
(kerajaan) (barisnya) dengan Dhammah mim, yakni menjadi sulthanah (kesultanan)
yang menguasai ahlul hak. Ia berkata dalam Syarah al-‘Aqaid, “Ini musykil (sulit),
sebab ahlul halli wal ‘aqdi telah sepakat atas kekhilafahan para khalifah
dari khilafah Abbasiah dan sebagian khalifah Marwaniyyah seperti Umar bin Abdul
Aziz. Barangkalinya yang dimaksud adalah khilafah yang sempurna yang tidak
menyimpang sedikit pun dari mukhalafah (menyalahi Sunnah Nabi saw) dan
mutaba’ah (mengikuti perjalanan Nabi saw). Itu berjalan selama 30 tahun
(khilafah ‘ala minhajin nubuwwah). Sedangkan khilafah sesudahnya, bisa saja
menyimpang, bisa juga tidak menympang.”
Disini cukup jelas dinyatakan bahwa yang dimaksud oleh Nabi
saw bahwa khilafah itu berjalan selama 30 tahun adalah khilafah ‘ala minhajin
nubuwwah, karena tidak menyimpang dari sunnah dan perjalanan Nabi saw. Adapun
setelahnya bisa saja menyimpang, tetapi tidak menggugurkan sistemnya yakni
system khilafah seperti khilafah Umayyah, khilafah Abbasiah, juga khilafah
Ustmaniyyah. Demikian juga penamaannya dengan nama kesultanan dan penguasanya
disebut sultan, juga tidak bisa menggugurkannya dari system khilafah (‘ala
minhajil muluk). Sebab, selama system yang dipakai adalah system khilafah, maka
penamaan dari selain khilafah, tidak menjadi persoalan. Karena itu, ulama tidak
mempermasalahkan penamaan kepada penguasa dari khilafah Ustmaniyyah dengan
sebutan sultan, seperti sultan Muhammad al-Fatih (penakluk Konstantinopel),
karena beliau sah secara hukum syara’ sebagai khalifah.
4. Dari sisi lain,
para ulama diantara imam asy-Syafi’I dan imam Sufyan ats-Stauri memasukan Umar
bin Abdul Aziz kedalam kelompok khalifah.
Berikut ini adalah pernyataan Imam asy-syafi’I yang memasukan
Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah, seperti yang dikutip oleh imam Ibnu Abi
Hatim ar-Rozi dalam kitab Adab asy-Syafi’I wa manaqibuhu :
عن حرملة قال : سمعت الشافعي يقول : الخلفاء خمسة ابو
بكر وعمر وعثمان وعلي وعمر بن عبد العزيز رضي الله عنهم
“Harmalah berkata, “Aku mendengar asy-Syafi’I berkata :”Para
khalifah itu ada lima, yaitu Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali, dan Umar bin Abdul
Aziz radhiyallahu ‘anhum”.
Maka, jika Umar bin
Abdul Aziz rha yang merupakan Taabi’ Tabi’iin masuk dalam kelompok khalifah,
maka tentu yang lebih berhak adalah Muawiyah bin Abi Sufyan r.a, karena beliau
merupakan shahabat Nabi saw yang terkemuka. Kalau Umar bin Abdul Aziz masuk
dalam jajaran khalifah karena keadilannya, tentunya Muawiyyah lebih berhak
masuk dalam jajaran khalifah, karena keadilan shahabat lebih utama ketimbang
keadilan Tabi’iin.
Dalam syarah Aqidah Thahawiyyah
disebutkan :
بل لو كان ثَمَّ خامس فالأحق به معاوية
بن أبي سفيان فهو أفضل من عمر بن عبد العزيز بلا شك لأنَّهُ:
- اجتمع عليه الناس.
- وصار في مدته إغاظة للكافرين.
- ولأنه هو صاحب رسول الله صلى الله
عليه وسلم وكاتب الوحي، وقد قال ابن مسعود (لَمُقام أحدهم ساعة مع رسول الله صلى
الله عليه وسلم خير من عبادة أحدكم كذا وكذا سنة)
“Tetapi jika ada khalifah yang kelima (dengan nama khulafa
ar-rasyidun), maka yang paling berhak dengannya adalah Muawiyyah bin Abi
Sufyan, beliau itu lebih utama dari Umar bin Abdul Aziz rha dengan tanpa
keraguan, karena :
a. Umat islam
bersatu (dibawah kekuasaannya)
b. Pada masanya,
orang-orang kafir dibuat marah
c. Muawiyyah
adalah shahabat Rasulullah saw dan penulis wahyu. Sungguh Ibnu Mas’ud berkata,
“Sungguh menetapnya salah seorang shahabat satu waktu bersama Rasulullah saw
itu lebih baik dari ibadah salah seorang diantara kalian selama sekian tahun.”
5. Bahwa ada dua
riwayat dalam hal ini. Yang pertama Nabi saw menyebutkan bahwa khilafah
sesudahku berlangsung 30 tahun. Dan yang kedua Nabi saw menyebutkan bahwa
khilafah ‘ala minhajin nubuwwah berlangsung 30 tahun. Berarti ada yang secara
umum (tanpa disertai dengan kalimat ‘ala minhajin nubuwwah), ada yang secara
khusus yaitu khilafah ‘ala minhajin nubuwwah berlangsung 30 tahun. Dalam kaidah
disebutkan bahwa :
وَالْخَاصُّ
مُقَدَّمٌ عَلَى الْعَامِّ
“Dalil khusu didahulukan atas dalil umum”
Dengan
demikian, jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan khilafah itu 30 tahun adalah
khilafah ‘ala minhajin nubuwwah, bukan khilafah secarah keseluruhannya. Karena
mendahulukan dalil khusus atas dalil umum.
Walaupun
demikian, ada hadist yang menyatakan bahwa khilafah ‘ala minhajin nubuwwah itu
akan kembali lagi. Rasulullah saw bersabda :
تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا
شَاءَ اللهُ اَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا اِذَا شَاءَ اَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ
تَكُوْنُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ اَنْ
تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا اِذَا شَاءَ اللهُ اَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ
مُلْكًا عَاضًا فَيَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ اَنْ يَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا اِذَا
شَاءَ اَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ
اللهُ اَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا اِذَا شَاءَ اَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ
تَكُوْنُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ.
Artinya :”Fase kenabian ada
ditengah-tengah kalian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada, kemudian Dia
akan mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Lalu akan ada fase
khilafah bedasarkan metode kenabian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada,
kemudian Dia akan mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Lalu
akan ada fase penguasa yang zhalim. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada,
kemudian Dia akan mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Lalu
akan ada fase penguasa diktator. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada,
kemudian Dia akan mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya.
Selanjutnya akan datang kembali khilafah berdasarkan metode kenabian. Kemudian
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diam.” (HR. Ahmad dan ath-Thayalisi dengan
sanad yang hasan).
6. Jika kita
menyatakan bahwa khilafah itu hanya 30 tahun, berarti berseberangan dengan
pendapat para ulama ahlus sunnah wal jama’ah yang menyatakan bahwa khilafah
atau imamah itu wajib. Tidak ada satu ulama pun baik itu dari generasi salaf
maupun khalaf yang hidup pasca periode 30 tahun yang menyatakan bahwa khilafah
itu tidak wajib. Kecuali segelintir ulama dari kalangan muktazilah seperti
al-Asham, al-futhi, juga ulama liberal. Berikut ini penuturan ulama yang hidup
pasca peride 30 tahun yang menyatakan menegakkan khilafah itu wajib. Saya hanya
menyebutkan disini sebagian saja, selebihnya bisa dibuka sendiri :
Asy-Syeikh Abdur Rahman al-Jaziri mengatakan
dalam kitab “Al-Fiqh Alaa al-Mazhahib al-Arba’ah” juz 5 halaman : 197 :
اتفق الأئمة رحمهم الله تعالى على :
أن الإمامة فرض وأنه لا بد للمسليمن من إمام يقيم شعائر الدين وينصف المظلومين من
الظالمين وعلى أنه لا يجوز أن يكون على المسلمين في وقت واحد في جميع الدنيا
إمامان لا متفقان ولا مفترقان
Artinya
:”Para imam –rahimahumullah- telah sepakat bahwa imamah (khilafah) wajib
(fardhu) adanya. Dan bahwasanya kaum muslimin wajib mempunyai seorang imam
(Khalifah) yang akan meninggikan syiar-syiar agama, menolong orang yang
teraniaya dari yang menagniayanya. (dan mereka juga sepakat) bahwa tidak bagi
kaum muslimin dalam waktu yang bersamaan di seluruh Dunia mempunya dua orang
imam (khalifah) baik keduanya sepakat maupun tidak.”
Dalam kitab
‘Aqidah Ahlussunnah Waljama’ah Fii ash-Shabah al-Kiraam, juz 2 halaman 506,
disebutkan :
أجمع عامة المسلمين على وجوب نصب إمام
للأمة يقيم لهم أحكام شرع الله ولم يخالف هذا الإجماع إلا النجدات من الخوارج
والأصم والفوطي من المعتزلة. قال أبو محمد بن حزم: "اتفق جميع أهل السنة
وجميع المرجئة وجميع الشيعة وجميع الخوارج على وجوب الإمامة وأن الأمة واجب عليها
الانقياد لإمام عادل يقيم فيهم أحكام الله ويسوسهم بأحكام الشريعة التي أتى بها
رسول الله صلى الله عليه وسلم حاشا النجدات من الخوارج فإنهم
قالوا: لا يلزم الناس فرض الإمامة وإنما عليهم أن يتعاطوا الحق بينهم وهذه فرقة ما
نرى بقي منهم أحد وهم المنسوبون إلى نجدة بن عمير الحنفي القائم باليمامة .فأهل السنة والجماعة مذهبهم أن
نصب الإمام الأعظم واجب بنص الشرع الحنيف لتجتمع به كلمة المسلمين وتنفذ به أحكام
الشريعة وهذا المذهب هو المذهب الحق المؤيد بالأدلة الشرعية من الكتاب والسنة
والإجماع
“Sepakat
kaum muslimin atas kewajiban mengangkat imam (khalifah) bagi umat yang
menegakkan hukum-hukum yang telah disyare’atkan Allah untuk mereka. Tidak ada
satupun (dari kaum muslimin) yang menyelisihi ijma’ (kesepakatan) ini selain
sekte najdah dari khawarij, al-Asham, al-Futhi dari mu’tazilah. Berkata Abu
Muhammad bin Hazm :”Semua Ahlussunnah, semua Murji’ah, semua Syi’ah, dan semua
Khawarij telah sepakat atas wajibnya imamah, dan bahwa umat wajib tunduk bagi
imam (khalifah) yang adil, yang menegakkan hukum-hukum Allah untuk mereka,
mengatur mereka dengan hukum-hukum syari’at yang telah dibawa oleh Rasulullah
saw selain sekte najdah dan khawarij, karena mereka berkata :”Kefardhuan imamah
tidak mengikat manusia, dan bahwasanya yang atas mereka adalah menjalankan hak
antara mereka.” Kelompok ini tidak ada lagi yang tersisa satu pun dan mereka
itu dinisbahkan kepada Najdah bin Umair al-Hanafi yang menetap di al-Yamamah.
Mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah menyatakan bahwa mengangkat imam al-‘Azham
(khalifah) adalah wajib dengan nash syara’ yang lurus, supaya kalimat (umat)
kaum muslimin menjadi satu, dan terlaksananya hukum-hukum syare’at. (pendapat)
Mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah ini adalah mazhab yang hak (benar) yang
dikuatkan dengan dalil-dalil syare’at yakni al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’.
7.
Dari
pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan khilafah hanya
30 tahun adalah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Bukan khilafah secara
keseluruhannya. Artinya bahwa setelah masa 30 tahun sejak wafatnya Nabi saw,
ada sedikit penyimpangan disitu sini, tetapi tidak sampai kepada menggugurkan
sistemnya secara keseluruhan melainkan sejak diruntuhkannya khilafah
Ustmaniyyah oleh Mustafa Kamal at-Taruk dengan bantuan Inggris pada bulan Maret
1924 M, maka sejak saat itu sampai sekarang umat islam kehilangan institusi
yang melindungi mereka dari dominasi ideology barat, umat islam kehilangan
kepemimpinan tunggal, umat islam islam mengalami kemunduran akibat tidak
diterapkannya syari’ah islam secara kaffah, maka sebagai bentuk amar ma’ruf
nahi munkar, umat islam wajib mengembalikan kekhilafahan untuk
mengembalikan kejayaan islam dan kaum muslimin. Karena itu, tidak ada alasan
lagi untuk tidak memperjuangkan dan mendukung penegakkan kembali khilafah ‘ala
minhajin nubuwwah, karena dalil dan landasannya sangat jelas, daripada kita
berjuang kepada system yang tidak ada
landasannya sama sekali dalam islam yakni demokrasi. Bukan pahala yang
didapatkan, justru dosa yang akan didapatkan. Nauzdu billah min zdalik walaa
haula walaa quwata illa billah.
8.
Terakhir
harapan saya semoga Allah swt memberikan keistiqamahan kepada kita semua untuk senantiasa
memperjuangkan tegaknya kembali khilafah al-islamiyyah, sebab “Tiada ada
kemulian keculi dengan islam, tiada sempurna islam kecuali dengan diterapkannya
syari’ahnya dan tidak dapat tegak syari’ah kecuali dalam naungan institusi
khilafah al-islamiyyah.”
Wallahu ‘alam bish shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar