Hukum puasa bagi pekerja berat
Bagi pekerja berat atau petani yang lagi panen
hasil pertaniannya tetap diwajibkan baginya puasa, kecuali jika memenuhi
syarat-syaratnya, maka boleh baginya mengganti puasa Ramadhan di waktu yang
lain.
Adapun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut
:
1. Tidak mungkin menunda
pekerjaannya dan panennya sampai bulan Syawal. Jika masih mungkin untuk
menundanya, maka tidak boleh mengganti puasa Ramadhan di hari yang lain.
2. Berhalangan mengerjakannya
diwaktu malam hari. Jika mungkin untuk mengerjakannya di malam hari, maka tidak
boleh mengganti puasa Ramadhan di hari yang lain.
3. Mengalami keberatan berpuasa.
Jika mudah baginya untuk puasa, maka tidak boleh mengganti puasa Ramadhan di
hari yang lain.
4. Tidak punya tujuan untuk
meninggalkan puasa dari awal hari. Jika punya tujuan tersebut, maka tidak boleh
mengganti puasa Ramadhan di hari yang lain.
5. Harus niat tarakhus
(memanfaatkan keringanan dari agama). Jika tidak ada niat tarkhus (keringanan)
maka tidak boleh mengganti puasa Ramadhan di hari yang lain.
6. Tarakhus (keringanan dalam
agama) tidak menjadi tujuan utamanya. Jika tarakhus tersebut jadi tujuan
utamanya, maka tidak boleh mengganti puasa Ramadhan di hari yang lain.
Jika salah satu syaratnya tidak terpenuhi, kemudian
ia meninggalkan puasa, maka baginya mendapatkan dosa besar dan wajib dicegah
serta mentakzirnya (memberikan hukuman yang membuatnya jera untuk mengulangi
perbuatan yang serupa).[1]
Dalam hadist disebutkan :
مَنْ
أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ بِغَيْرِ عُذْرٍ لَمْ يُغْنِهِ عَنْهُ صَوْمُ الدَّهْرِ
“Siapa yang tidak berpuasa sehari saja di bulan
Ramadhan tanpa uzur, tidak cukup baginya (untuk menggantinya) puasa setahunan
penuh.”
Hukum menggunakan obat untuk mencegah haid
Bagi perempuan, boleh hukumnya mencegah haid
dengan mengunakan obat. Tetapi penggunaan obat untuk mencegah haid, hendaklah
dikonsultasikan sama dokter apakah ada bahaya bagi dirinya atau tidak.
Maka ketika haid tidak keluar karena pakai
obat, maka wajib baginya untuk puasa Ramadhan atau kewajiban yang lain.
Di
dalam kitab Ghayatu Talkhishi al-Murad Min Fatawi Ibni Ziyad, halaman 283
disebutkan sebagai berikut :
وَفِىْ
فَتَاوى اَلْقَامَطِ مَا حَاصَلَهُ جَوَازُ اسْتِعْمَالِ الدَّوَاءِ لِمَنْعِ
الْحَيْضِ.
“Dan Fatwa al-Qamadh bahwa harus menggunakan
obat untuk mencegah haid.”
Hukum bersuntik atau infuse bagi orang yang
puasa
Boleh bersuntik atau memakai infuse bagi orang
yang puasa karena darurat. Sedangkan masalah batal puasanya, maka ada perbedaan
pendapat dikalangan para ulama, yaitu :
1. Ada yang mengatakan batal
seacara muthlak, karena bendanya sampai kepada rongga. maksud secara muthlak
adalah baik benda yang masuk itu sebagai ganti (suplemen) makanan, atau tidak
(hanya sekedar obat saja).
2. Ada yang mengatakan tidak
batal secara muthlak, karena masuknya benda itu kepada rongga tidak melalui
lubang yang terbuka. (Lubang yang terbuka seperti mata, hidung, telinga,
mulut).
3. Ada yang mengatakan bahwa
pada masalah ini ada perinciannya, yaitu sebagai berikut[2]
:
·
Apabila yang masuk itu berupa suplemen makanan (infuse), maka
puasanya batal,
·
Apabila bukan suplemen makanan, maka : jika adalah ia pada urat,
maka puasanya batal, dan jika adalah ia pada otot, maka puasanya tidak batal.
Hukum dahak
1. Apabila dahak itu sampai pada
batas zhahir, kemudian ia menelannya, maka batal puasanya.
2. Apabila dahak itu sampai pada
batas batin, kemudian ia menelannya, maka tidak batal puasanya.
·
Yang dimaksud dengan batas zhahir adalah makhraj (tempat keluar)
huruf kha’ (خ)
·
Yang dimaksud dengan batas zhahir adalah makhraj (tempat keluar)
huruf الهاء
(ه)
Sedangkan makhraj huruf الحاء (ح) maka ada perbedaan
pendapat diantara ulama :
·
Menurut imam an-Nawawi, termasuk batas zhahir, maka batal puasanya
jika ia menelan dahaknya.
·
Menurut imam ar-Rafi’I, termasuk batas batin, maka tidak batal
puasanya jika ia menelan dahaknya.
Hukum menelan air liur
Menelan air liur tidak membatalkan puasa karena
ada kesulitan menghindarinya, akantetapi dengan 3 syarat, yaitu :
1. Bahwa air liurnya murni,
tidak bercampur dengan benda lain. Maka jika air liurnya bercampur dengan benda
lain seperti sisa makanan, maka batal puasanya jika ia menelannya.
2. Bahwa air liurnya suci, tidak
najis. Maka jika air liurnya najis, maka batal puasanya jika ia menelannya.[3]
3. Bahwa air liurnya berasal
dari sumbernya (lidah dan mulut). Karena itu, jika ia menelan air liur yang
sudah sampai pada merahnya bibir, maka batal puasanya.
Hukum orang yang kemasukan air pada rongga
tanpa ada kesengajaan ketika mandi
Sebagaimana sudah diketahui bahwa jika dengan
sengaja memasukan benda seperti air pada rongga, maka batal puasanya, lalu
bagaimana jika kemasukan air pada rongga tanpa ada kesengajaan ketika mandi?,
maka hukumnya sebagai berikut :
·
Apabila mandinya termasuk mandi yang diperintahkan oleh syara’
yakni mandi fardhu seperti mandi janabah, atau mandi sunnah seperti mandi hari
jum’at, maka tidak batal puasanya jika ia mandi dengan tidak menyelam. Adapun
jika mandinya menyelam, lalu kemasukan air, maka batal puasanya.
·
Apabila mandinya hanya sekedar untuk membersihkan badannya saja atau
sekedar menyegarkannya karena udara panas misalnya, maka batal puasanya, baik
itu mandinya menyelam maupun tidak menyelam.
·
Karena itu jika ia mandi berenang di kolam mandi, atau di sungai,
lalu kemasukan air pada rongganya tanpa ada kesengajaan, maka puasanya batal,
karena berenang sama dengan menyelam yaitu sudah menjadi kebiasaan bahwa mandi
berenang atau mandi menyelam itu akan kemasukan air.
Hukum tertelan air ketika berkumur-kumur
1. Jika berkumur-kumur
(al-madhmadhah) itu termasuk yang diperintahkan oleh syara’ seperti pada wudhu
atau mandi, maka :
·
jika ia terlalu bersungguh-sungguh atau berlebihan waktu
berkumur-kumurnya (al-madhmadhah), maka batal puasanya. Karena berlebihan waktu
berkumur-kumur makruh bagi orang yang puasa.
·
Jika tidak bersungguh-sungguh atau berlebihan, maka tidak batal
puasanya.
2. Jika berkumur-kumurnya
termasuk perkara yang tidak diperintahkan oleh syara’, maka batal puasanya,
sekalipun dilakukannya dengan tidak berlebihan.
[1]
al-Imam as-Sayyid Abdurrahman al-Masyhur, Bughyah al-Mustarsyidin. Halaman 72.
Cet. Dar al-Fikr, 1995 M / 1415 H.
[2] Pendapat ini merupakan pendapat yang lebih shahih
(qaul al-ashah).
[3] Wajib membersihkan mulut dan air liur yang najis
dengan air yang suci mensucikan, karena itu jika mulut dan liurnya najis, lalu
bersih tanpa menggunakan air, maka mulut dan liurnya tetap najis, maka batal
jika ia menelannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar