Pengertian
Talkin
Yang menjadi pembahasan saya dalam masalah talkin disisni adalah
membaca talkin kepada orang sudah meninggal setelah ia dikubur, bukan masalah
talkin disaat orang sakaratul maut. Jadi, definisi atau pengertian yang saya
sampaikan disini ialah terkait dengan pembahasan yang saya maksud.
Arti talkin menurut bahasa adalah mengajar dan memahamkan secara lisan.[1]
Sedangkan menurut istilah adalah mengajarkan dan mengingatkan orang yang
sudah wafat yang baru saja dikuburkan akan beberapa hal untuk menghadapi
pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir yang akan menanyainya.
Pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir ini hanyalah seputar masalah
aqidah saja. Ada yang ditanya sebagiannya saja dan ada yang ditanyai keseluruhannya.[2]
Hukum
Talkin
Menurut ulama bahwa hukum membaca talkin kepada orang yang sudah
meninggal yang baru saja dikuburkan adalah sunnah. Diberi pahala bagi yang
mengerjakannya dan bermanfaat bagi yang ditalqinkan.
Pendapat
Ulama Terkait Talqin :
1. Berkata
Imam an-Nawawi rha :
وَامَّا
تَلْقِيْنُ الْمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ، فَقَدْ قَالَ جَمَاعَةٌ كَثِيْرُوْنَ
مِنْ اَصْحَابِنَا بِاسْتِحْبَابِهِ، وَمِمَّنْ نَصَّ عَلٰى اسْتِحْبَابِهِ :
اَلْقَاضِى حُسَيْنٌ فِىْ تَعْلِيْقِهِ وَصَاحِبُهُ اَبُوْ سَعِيْدٍ
اَلْمُتَوَلِّى فِىْ كِتَابِهِ اَلتَّتِمَّةِ وَالشَّيْخُ الْاِمَامُ اَبُوْ
الْفَتْحِ نَصْرُ ابْنُ اِبْرَاهِيْمَ اَلْمَقْدِسِيُّ وَالْاِمَامُ اَبُوْ
الْقَاسِمِ الرَّافِعِيُّ وَغَيْرُهُمْ وَنَقَلَهُ اَلْقَاضِىْ حُسَيْنٌ عَنِ
الْاَصْحَابِ
“Dan adapun membaca talqin untuk mayyit sesudah ia dikubur, maka
banyak sekali jama’ah ulama dari kalangan ashhab syafi’iyyah yang menyatakan
akan kesunnatannya. Diantara ulama-ulama tersebut adalah : al-imam al- qadhi
Husain dalam “Ta’liqnya”, Abu Sa’id al-Mutawalli dalam kitabnya “at-Tatimmah”,
Syaikhu al-Imam Abu al-Fath Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi, Imam Abu al-Qasim
ar-Rafi’I, dan selain mereka tersebut. Al-Qadhi Husain mengutipnya (masalah
talqin) dari ashhab.”[3]
2. Berkata
asy-Syeikh Khatib Syarbini :
وَيُسَنُّ
تَلْقِيْنُ الْمَيِّتِ الْمُكَلَّفِ بَعْدَ الدَّفْنِ لِحَدِيْثٍ وَرَدَ فِيْهِ
“Disunnahkan membaca talqin untuk mayyit yang mukallaf sesudah ia
dikuburkan, karena ada hadist yang menerangkannya.”[4]
3. Berkata
asy-Syeikh al-imam Ibnu Hajar al-Haitami :
وَيُسْتَحَبُّ تَلْقِيْنُ بَالِغٍ اَوْ مَجْنُوْنٍ
سَبَقَ لَهُ تَكْلِيْفٌ وَلَوْ شَهِيْدًا كَمَا اقْتَضَى اِطْلَقُهُمْ بَعْدَ
تَمَامِ الدَّفْنِ.
“Disunnahkan membaca talqin untuk mayyit yang sudah baligh atau
oarng gila yang sebelumnya ia sudah ada taklif dan sekalipun mayyit itu mati
syahid, sebagaimana dituntut oleh kemuthlaqkan (keumumam) fatwa ulama. Dan
talqin itu dibacakan sesudah sempurna penguburan.”[5]
4. Berkata
asy-Syeikh al-Imam Muhammad ar-Ramli :
وَيُسْتَحَبُّ تَلْقِينُ الْمَيِّتِ الْمُكَلَّفِ بَعْدَ تَمَامِ دَفْنِهِ
5. Berkata
al-allamah asy-Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Banteni al-Makki :
وَيُنْدَبُ تَلْقِيْنُ مَيِّتٍ بَالِغٍ وَلَوْ
شَهِيْدًا لِاحْتِيَاجِهِ اِلٰى التَّذْكِيْرِ فِىْ هٰذَا الْوَقْتِ
“Disunnahkan membaca talqin untuk mayyit yang sudah dewasa
sekalipun ia mati syahid, karena pada waktu itu, ia sangat membutuhkan kepada
peringatan.” [7]
6. Berkata
asy-Syeikh Prof.Dr. Wahbah az-Zuhaili :
وَأضَافَ الْحَنَفِيَّةُ: لَا يُلَقَّنُ بَعْدَ
تَلْحِيْدِهِ: وَضْعِهِ فِي الْقَبْرِ. وَإِنْ فَعَلَ فَالتَّلْقِيْنُ مَشْرُوْعٌ عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ
“Ulama mazhab Hanafi menyatakan: tidak dibacakan talqin untuk
mayyit sesudah ia diletakan didalam kubur. Dan jika ia melakukannya, maka
talqin itu disyari’atkan menurut ahlissunnah.[8]”
Itulah diantara komentar para ulama, terutama ulama dari kalangan
mazhab syafi’i terkait masalah talqin, intinya bahwa mereka menghukumkan sunnah
membaca talqin untuk mayyit yang sudah baligh.
Dalil
Talkin
Diantara yang mendasari mereka menghukumkan sunnah membaca talqin
adalah hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yang diriwayatkan oleh imam
ath-Thabarani :
“عَنْ سَعِيدِ بن عَبْدِ
اللَّهِ الأَوْدِيِّ، قَالَ: شَهِدْتُ أَبَا أُمَامَةَ وَهُوَ فِي النَّزْعِ،
فَقَالَ: إِذَا أَنَا مُتُّ، فَاصْنَعُوا بِي كَمَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نصْنَعَ بِمَوْتَانَا، أَمَرَنَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ:"إِذَا مَاتَ أَحَدٌ
مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمِ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ
أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ،
فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلا يُجِيبُ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ،
فَإِنَّهُ يَسْتَوِي قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ
يَقُولُ: أَرْشِدْنَا رَحِمَكَ اللَّهُ، وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ، فَلْيَقُلْ:
اذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لا إِلَهَ إِلا
اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيتَ بِاللَّهِ
رَبًّا، وَبِالإِسْلامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا،
فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيرًا يَأْخُذُ وَاحِدٌ مِنْهُمْا بِيَدِ صَاحِبِهِ،
وَيَقُولُ: انْطَلِقْ بنا مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتَهُ،
فَيَكُونُ اللَّهُ حَجِيجَهُ دُونَهُمَا"، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ؟ قَالَ:"فَيَنْسُبُهُ إِلَى حَوَّاءَ،
يَا فُلانَ بن حَوَّاءَ".
“Dari Sa’id bin Abdillah al-Awdi, ia berkata, “Aku
menyaksikan Abu Umamah waktu beliau mendekati kematiannya, ia berkata, “Jika
nanti aku meninggal, maka perbuatlah diriku sebagaimana apa yang diperintahkan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Apabila meninggal seseorang dari saudara kamu, maka kalian
sudah meratakan tanah diatas kuburnya, maka hendaklah salah seorang kamu
berdiri diatas kuburnya, kemudian ia mengatakan :”Wahai fulan bin fulanah” maka
bahwasanya mayyit berkata, “Berilah kami petunjuk, semoga Allah memberikan
rahmat kepadamu” tetapi kamu tidak menyadari ucapannya tersebut. Maka hendaklah
ia mengatakan, “Ingatlah keadaan ketika engkau keluar dari dunia yaitu syahadah
(pengakuan) bahwa tiada tuhan kecuali hanya Allah dan bahwasanya Nabi Muhammad
hamba-Nya dan utusan-Nya. Dan engkau ridha Allah sebagai Rabb mu, islam sebagai
agamamu, Muhammad sebagai Nabimu, al-Qur’an sebagai imammu. Bahwasanya malaikat
Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan keduanya, sambil mengatakan, “Mari
kita pergi, tiada ada gunanya kita duduk disisi orang yang sudah diajarkan
(ditalqinkan) hujjahnya, maka Allah adalah hujjahnya dihadapan keduanya.” Maka
salah seorang shahabat bertanya, “Ya Rasulallah, maka jika ia tidak mengetahui nama
ibunya?” Rasulullah menjawab, “Maka hendaklah ia menyandarkannya kepada
Hawwa, wahai fulan bin hawwa.”[9] (HR. ath-Thabarani)
Menurut ulama hadist bahwa hadist Abi Umamah ini tergolong hadist
dhoif, sedangkan hadist dhoif tidak bisa dijadikan dalil hukum. Akantetapi
ulama, terutama ulama dari kalangan mazhab syafi’I tetap memfatwakan bahwa
talqin hukumnya sunnah. Hal ini dikarenakan :
1. Hadist
tentang talqin ini tergolong dalam fadhail amal (kelebihan amal) yang
mengandung bacaan do’a dan zikir. Hal ini terlihat pada frasa kata, “Mari kita pergi, tiada ada gunanya kita duduk disisi orang
yang sudah diajarkan (ditalqinkan) hujjahnya, maka Allah adalah hujjahnya
dihadapan keduanya.”
Menurut para ulama, bahwa hadist dhoif ini boleh
digunakan untuk fadhilah amal.
Imam
an-Nawawi mengatakan dalam kitab al-Azkar:
قَالَ
الْعُلَمَاءُ مِنَ الْمُحَدِّثِيْنَ وَالْفُقَهَاء وَغَيْرِهِمْ : يَجُوْزُ وُيُسْتَحَبُّ
الْعَمَلُ فِي الْفَضَائِلِ وَالتَّرْغِيْبِ وَالتَّرْهِيْبِ بِالْحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ
مَا لَمْ يَكُنْ مَوْضُوْعًا وَأَمَّا الْأَحْكَامُ
كَالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ وَالْبَيْعِ وَالنِّكَاحِ وَالطَّلَاقِ وَغَيْرِ ذَلِكَ
فَلَا يُعْمَلُ فِيْهَا إِلَّا بِالْحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ أَوْ الْحَسَنِ
“Berkata ulama dari kalangan ahli hadist (Muhaddistin)
dan ahli fiqih (Fuqahaa) dan selain mereka, “Boleh dan sunnah beramal dengan
hadist dhoif untuk fadhilah amal, untuk targhib (memberikan gairah untuk
beramal kebaikan dengan pahala atau syurga), dan tarhib (memberikan ketakutan
untuk maksiat dengan siksa dan neraka), selama hadist itu tidak tergolong palsu
(maudhu’). Adapun masalah hukum seperti halal-haram, jual beli, nikah, thalaq
dan selainnya, maka tidak boleh menggunakan hadist dhoif, tetapi harus memakai
hadist shohih atau hadist hasan.” [10]
2. Kedhoifan hadits Abi Umamah ini, ternyata didukung oleh hadist
shohih, sehingga derajatnya yang semula dhoif, naik derajatnya menjadi hasan
lighairihi. Karena itu, dapat dijadikan sebagai landasan dalil hukum, dalam hal
ini, hadist Abi Umamah dapat dijadikan sandaran hukum akan sunnahnya hukum
talqin.
Syeikh
Khatib Syarbini mengatakan dalam kitab al-Iqna :
وَالْحَدِيْثُ
وَإِنْ كَانَ ضَعِيْفاً لَكِنَّهُ اعْتُضِدَ بِشَوَاهِدَ
مِنَ الْأَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ وَلَمْ تَزَلِ النَّاسُ عَلَى الْعَمَلِ بِهِ مِنَ
الْعَصْرِ الْأَوَّلِ فِيْ زَمَنِ مَنْ يُقْتَدَى بِهِ
“Dan hadist ini, sekalipun ia dhoif, tetapi ia telah
didukung dan dikuatkan oleh beberapa hadist shahih lainnya, dan senantiasa
orang-orang mengamalkan talqin itu mulai masa terdahulu yaitu pada masa orang
yang pantas diikuti.”"[11]
Diantara ayat yang mendukung hadist Abu Umamah r.a
adalah firman Allah swt dalam surah az-Zariyaat ayat 55 :
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الدِّكْرٰى تَنْفَعُ
الْمُؤْمِنِيْنَ
“Dan tetaplah
memberi peringatan, Karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang
yang beriman.”
Dalam masalah talkin, asy-Syeikh Abu Bakar Syatha
menjadikan ayat tersebut sebagai dalil bagi sunnahnya talkin, karena keadaan
orang yang mati di dalam kubur lebih berhajat dan memerlukan peringatan. Dan
peringatan itu bermanfaat bagi orang yang beriman, termasuk orang yang beriman
yang sudah mati.
Untuk itu, mari kita buka kitab I’anatuth Thalibin juz
2 halaman 140 sebagai berikut :
وَذٰلِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالٰى :
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَ تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ. وَأَحْوَجُ مَا يَكُوْنُ
الْعَبْدُ اِلٰى التَّذْكِيْرِ فِيْ هٰذِهِ الْحَالَةِ
“Dan demikian itu (yakni sunnahnya talkin bagi orang
yang baligh) karena firman Allah swt : “Dan tetaplah memberi peringatan, karena
sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” Dan
Sangat dihajatkan peringatan itu oleh seorang hamba adalah pada keadaan ini
(keadaan setelah dikubur)”
Diantara hadist yang mendukung hadist Abu Umamah adalah
: Hadist yang diriwayatkan oleh imam Abu Daud dari Ustman bin ‘Affan rda :
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه
وسلم- إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ: اسْتَغْفِرُوا لأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ
التَّثْبِيتَ فَإِنَّهُ الآنَ يُسْأَلُ (رواه ابو داود)
“Dari Ustman bin ‘Affan rda, ia berkata ,”Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam apabila selesai menguburkan mayyit, beliau
berhenti sebentar dan bersabda, “Mintakanlah ampunan saudaramu ini dan
mohonkanlah supaya dia diberikan tatsbit (kemantapan menjawab pertanyaan)
karena sesungguhnya dia sekarang sedang ditanya.” (HR. Abu Daud).
Hadist ini dapat dipahami bahwa mayyit akan ditanya
oleh malaikat dan mayyit akan mendapatkan pertolongan dengan memintakan
keampunan baginya dan memintakan kemantapan baginya untuk menjawab pertanyaan
malaikat tersebut.
Sementara talqin itu, berisi ucapan-ucapan yang
mengandung memohonkan ampun dan kemantapan baginya untuk menjawab pertanyaan
malaikat Munkar dan Nakir.
3. Apalagi ternyata ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa hadist
Abi Umamah ini tergolong hadist yang sanadnya baik dan sebagai hadist yang kuat
sehingga bisa dijadikan sebagai landasan hukum. Diantara ulama yang menyatakan
hadist ini kuat karena sanadnya baik adalah imam asy-Syaukani (seorang pakar
hadist), dan imam al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani (pakar hadist penyarah
shahih Bukhari dengan kitabnya Fathul Barii). Ini bisa dilihat dalam kitab
Nailul Authar karya imam Asy-Syaukani.
Imam adh-Dhiya’ juga menyatakan bahwa hadist Abi Umamah
ini kuat. Sebagaimana yang disebutkan asy-Syeikh KH. Ali Ma’shum dalam kitab
Hujjatu Ahlissunnah Waljama’ah :
هٰذَا الْحَدِيْثُ
اِسْنَادُهُ جَيِّدٌ وَاَيَّدَهُ الضِّيَاءُ فِيْ كِتَابَيْهِ الْمُخْتَارَةِ
وَالْاَحْكامِ.
“Hadist Abi Umamah itu isnadnya baik dan imam
adh-Dhiya’ telah menguatkannya dalam dua kitabnya yang bernama “al-Mukhtarah”
dan “al-Ahkam”.[12]
Adapun terkait dengan firman Allah swt dalam surah
al-Fathir ayat 22 sering dijadikan dalil untuk menolak talqin) :
وَمَا يَسْتَوِى الْأَحْيَاءُ وَلَا
الْأَمْوَاتُ. إِنَّ اللهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ. وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ
فِى الْقُبُوْرِ.
“Dan tidak
(pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya
Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu
sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar”[13]
Maka menurut ulama tafsir, arti dari firman Allah swt
“Man fil qubuur” adalah “Orang-orang kafir” bukan “Orang yang di dalam kubur”.
Jadi itu merupakan kata kiasan saja.
Untuk lebih jelasnya, sekarang mari kita perhatikan
penjelasan asy-Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Banteni al-Makki tela’ah dalam menerangkan arti ayat tersebut :
أَيْ وَمَا اَنْتَ يَا أَشْرَفَ
الْخَلْقِ بِمُفْهِمِ مَنْ هُوَ مِثْلُ الْمَيِّتِ الَّذِيْ فِى الْقُبُوْرِ.
شَبَّهَ اللهُ الْكُفَّارَ بِالْمَوْتٰى فِيْ عَدَمِ التَّأَثُّرِ بِدَعْوَتِهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Dan tidaklah Engkau wahai semulia-mulia makhluk (Nabi
Muhammad saw) mampu menjadikan faham orang-orang dia seperti mayyit dalam
kubur. Allah swt menyerupakan orang-orang kafir dengan orang yang mati karena
ketiadaan member pengaruh terhadap dakwah Rasulullah saw.”[14]
Demikian
juga diterangkan dalam kitab tafsir “Khazin” :
يَعْنِى
الْكُفَّارَ. شَبَّهَهُمْ بِالْاَمْوَاتِ فِى الْقُبُوْرِ لِأَنَّهُمْ لَا
يُجِيْبُوْنَ اِذَا دُعُوْا
“Yakni (maksudnya Man fil qubuur) adalah orang-orang
kafir. Allah menyerupakan mereka dengan orang yang mati di dalam kubur sebab
mereka tidak menjawab (seruan dakwah) apa mereka diseru.”
Dengan demikian ayat ini tidak bisa dijadikan dalil
untuk menolak talkin, apalagi sampai membid’ahkannya atau menghukumkannya
haram. Ayat ini tidak ada kaitannya dengan orang yang mati di dalam kubur,
tetapi berkaitan dengan orang-orang kafir yang desrupakan Allah swt seperti
orang mati dikarenakan penolakan mereka terhadap seruan dakwah Rasulullah saw
seperti yang diterangkan oleh ulama tafsir yang mu’tabarah.
Beberapa Perkara Yang Berkaitan Dengan Talkin :
1.
Tidak disunnahkan talkin bagi
anak-anak karena anak-anak tidak ditaklif (dibebani) dalam pelaksanaan syari’at
baik itu berupa perintah maupun berupa larangan, sehingga mereka tidak difitnah
dalam kubur. Demikian juga tidak disunnahkan talkin bagi orang gila yang tidak
didahului oleh taklif syari’at. Adapun orang gila yang didahului oleh taklif
syari’at, maka tetap disunnahkan talkin.
2.
Disunnahkan mengulangi talkin itu
sebanyak 3 kali.
3.
Lebih utama bagi yang menghadiri
dan mendengarkan bacaan talkin itu dalam keadaan berdiri, sedangkan yang
membaca talkin dalam keadaan duduk di sisi kepalanya supaya mayyit lebih hampir
mendengarkan talkin.
4.
Lebih utama memanggil mayyit pada
talkin itu dengan panggilan ibunya jika ia mengetahui nama ibunya sebab hal itu
lebih menjinakan hatinya, seperti Zaid bin Fathimah. Jika ia tidak mengetahui
nama ibunya, maka dengan nama “Hawwa” seperti Zaid bin Hawwa.
5.
Adapun bahasa talkin, apakah dengan
bahasa arab atau dengan bahasa si mati, maka hal itu tidak jadi masalah, sebab
para ulama berbeda pendapat tentang bahasa yang dipakai oleh malaikat Munkar
dan Nakir ketika menanyai mayyit, apakah dengan bahasa arab atau dengan bahasa
diri si mati.
a. Menurut imam Jalaluddin as-Sayuthi dengan bahasa Farsia.
b. Menurut imam al-Bulqini dengan bahasa suryani.
c. Menurut imam al-Hafizh Ibnu hajar al-haitami dengan bahasa diri si
mati.
d. Menurut imam Ibnu hajar al-Qasthalani dengan bahasa arab.
Walaupun demikian, maka hendaklah kaum muslimin
untuk saling menghargai dan menghormati setiap perbedaan pendapat terkait
dengan masalah talkin ini.
[1] A.W.
Munawwir. Kamus al-Munawwir, halaman 1282.
[2]
Asy-Syeikh Muhammad Nawawi al-Banteni , Fathul Majid Fii Syarhi ad-Durari
al-Fariid. Hal. 50. Cet. Al-Haramain
[3] Imam
an-Nawawi. Al-Azkar an-Nawawiyyah. Hal.
162. Cet. Darul Fikr.
[4] Imam
Muhammad asy-Syarbini al-Khatib. Al-Iqna’, 1/183. Cet. Al-Hidayah.
[5] Imam
Ibnu Hajar al-Haitami. Tuhfatul Muhtaj.
[6] Imam
Muhammad ar-Ramli. Nihayatul Muhtaj. 8/400. Maktabah Syamilah.
[7]
Asy-Syeikh Muhammad Nawawi al-Banteni. Nihayatuzzain. Halaman 162. Cet. Dar
al-Ilmi Surabaya
[8]
Asy-Syeikh DR. Wahbah az-Zuhaili. Fiqh al-Islam waadillatuhu. 2/598. Maktabah
Syamilah.
[9]
At-Thabarani. Al-Mu’jam al-Kabiir. 7/287. Maktabah Syamilah.
[10] Imam
an-Nawawi. Al-Azkar an-Nawawiyyah. Hal. 8. Cet. Dar al-Fikr.
[11] Imam
Muhammad asy-Syarbini al-Khatib. Al-Iqna’. 1/183. Cet. Al-Hidayah
[12] KH. Ali
Ma’shum. Hujjatu Ahlissunnah Waljama’ah. Halaman :
[13] Menurut
tafsir terjemah Departemen Agama, maksudnya adalah: Nabi
Muhammad tidak dapat memberi petunjuk kepada orang-orang musyrikin yang Telah
mati hatinya
[14]
Asy-Syeikh Muhammad Nawawi al-Banteni. Tafsir Marah Labiid. Juz 2 halaman 202
Tidak ada komentar:
Posting Komentar