Minggu, 01 Juni 2014

Masalah Talkin Mayyit Dalam Kubur


Pengertian Talkin

Yang menjadi pembahasan saya dalam masalah talkin disisni adalah membaca talkin kepada orang sudah meninggal setelah ia dikubur, bukan masalah talkin disaat orang sakaratul maut. Jadi, definisi atau pengertian yang saya sampaikan disini ialah terkait dengan pembahasan yang saya maksud.
Arti talkin menurut bahasa adalah mengajar dan memahamkan secara lisan.[1] Sedangkan menurut istilah adalah mengajarkan dan mengingatkan orang yang sudah wafat yang baru saja dikuburkan akan beberapa hal untuk menghadapi pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir yang akan menanyainya.
Pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir ini hanyalah seputar masalah aqidah saja. Ada yang ditanya sebagiannya saja dan ada yang ditanyai keseluruhannya.[2]

Hukum Talkin

Menurut ulama bahwa hukum membaca talkin kepada orang yang sudah meninggal yang baru saja dikuburkan adalah sunnah. Diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan bermanfaat bagi yang ditalqinkan.

Pendapat Ulama Terkait Talqin :

1.    Berkata Imam an-Nawawi rha :
وَامَّا تَلْقِيْنُ الْمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ، فَقَدْ قَالَ جَمَاعَةٌ كَثِيْرُوْنَ مِنْ اَصْحَابِنَا بِاسْتِحْبَابِهِ، وَمِمَّنْ نَصَّ عَلٰى اسْتِحْبَابِهِ : اَلْقَاضِى حُسَيْنٌ فِىْ تَعْلِيْقِهِ وَصَاحِبُهُ اَبُوْ سَعِيْدٍ اَلْمُتَوَلِّى فِىْ كِتَابِهِ اَلتَّتِمَّةِ وَالشَّيْخُ الْاِمَامُ اَبُوْ الْفَتْحِ نَصْرُ ابْنُ اِبْرَاهِيْمَ اَلْمَقْدِسِيُّ وَالْاِمَامُ اَبُوْ الْقَاسِمِ الرَّافِعِيُّ وَغَيْرُهُمْ وَنَقَلَهُ اَلْقَاضِىْ حُسَيْنٌ عَنِ الْاَصْحَابِ
“Dan adapun membaca talqin untuk mayyit sesudah ia dikubur, maka banyak sekali jama’ah ulama dari kalangan ashhab syafi’iyyah yang menyatakan akan kesunnatannya. Diantara ulama-ulama tersebut adalah : al-imam al- qadhi Husain dalam “Ta’liqnya”, Abu Sa’id al-Mutawalli dalam kitabnya “at-Tatimmah”, Syaikhu al-Imam Abu al-Fath Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi, Imam Abu al-Qasim ar-Rafi’I, dan selain mereka tersebut. Al-Qadhi Husain mengutipnya (masalah talqin) dari ashhab.”[3]

2.    Berkata asy-Syeikh Khatib Syarbini :
وَيُسَنُّ تَلْقِيْنُ الْمَيِّتِ الْمُكَلَّفِ بَعْدَ الدَّفْنِ لِحَدِيْثٍ وَرَدَ فِيْهِ
“Disunnahkan membaca talqin untuk mayyit yang mukallaf sesudah ia dikuburkan, karena ada hadist yang menerangkannya.”[4]

3.    Berkata asy-Syeikh al-imam Ibnu Hajar al-Haitami :
وَيُسْتَحَبُّ تَلْقِيْنُ بَالِغٍ اَوْ مَجْنُوْنٍ سَبَقَ لَهُ تَكْلِيْفٌ وَلَوْ شَهِيْدًا كَمَا اقْتَضَى اِطْلَقُهُمْ بَعْدَ تَمَامِ الدَّفْنِ.
“Disunnahkan membaca talqin untuk mayyit yang sudah baligh atau oarng gila yang sebelumnya ia sudah ada taklif dan sekalipun mayyit itu mati syahid, sebagaimana dituntut oleh kemuthlaqkan (keumumam) fatwa ulama. Dan talqin itu dibacakan sesudah sempurna penguburan.”[5]

4.    Berkata asy-Syeikh al-Imam Muhammad ar-Ramli :
وَيُسْتَحَبُّ تَلْقِينُ الْمَيِّتِ الْمُكَلَّفِ بَعْدَ تَمَامِ دَفْنِهِ
“Disunnahkan membaca talqin untuk mayyit yang mukallaf sesudah sempurna penguburannya.”[6]

5.    Berkata al-allamah asy-Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Banteni al-Makki :
وَيُنْدَبُ تَلْقِيْنُ مَيِّتٍ بَالِغٍ وَلَوْ شَهِيْدًا لِاحْتِيَاجِهِ اِلٰى التَّذْكِيْرِ فِىْ هٰذَا الْوَقْتِ
“Disunnahkan membaca talqin untuk mayyit yang sudah dewasa sekalipun ia mati syahid, karena pada waktu itu, ia sangat membutuhkan kepada peringatan.” [7]

6.    Berkata asy-Syeikh Prof.Dr. Wahbah az-Zuhaili :
وَأضَافَ الْحَنَفِيَّةُ: لَا يُلَقَّنُ بَعْدَ تَلْحِيْدِهِ: وَضْعِهِ فِي الْقَبْرِ. وَإِنْ فَعَلَ فَالتَّلْقِيْنُ مَشْرُوْعٌ عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ
“Ulama mazhab Hanafi menyatakan: tidak dibacakan talqin untuk mayyit sesudah ia diletakan didalam kubur. Dan jika ia melakukannya, maka talqin itu disyari’atkan menurut ahlissunnah.[8]

       Itulah diantara komentar para ulama, terutama ulama dari kalangan mazhab syafi’i terkait masalah talqin, intinya bahwa mereka menghukumkan sunnah membaca talqin untuk mayyit yang sudah baligh.

Dalil Talkin

Diantara yang mendasari mereka menghukumkan sunnah membaca talqin adalah hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yang diriwayatkan oleh imam ath-Thabarani :
عَنْ سَعِيدِ بن عَبْدِ اللَّهِ الأَوْدِيِّ، قَالَ: شَهِدْتُ أَبَا أُمَامَةَ وَهُوَ فِي النَّزْعِ، فَقَالَ: إِذَا أَنَا مُتُّ، فَاصْنَعُوا بِي كَمَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نصْنَعَ بِمَوْتَانَا، أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ:"إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمِ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلا يُجِيبُ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْتَوِي قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلانَ بن فُلانَةَ، فَإِنَّهُ يَقُولُ: أَرْشِدْنَا رَحِمَكَ اللَّهُ، وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ، فَلْيَقُلْ: اذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيتَ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيرًا يَأْخُذُ وَاحِدٌ مِنْهُمْا بِيَدِ صَاحِبِهِ، وَيَقُولُ: انْطَلِقْ بنا مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتَهُ، فَيَكُونُ اللَّهُ حَجِيجَهُ دُونَهُمَا"، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ؟ قَالَ:"فَيَنْسُبُهُ إِلَى حَوَّاءَ، يَا فُلانَ بن حَوَّاءَ".
“Dari Sa’id bin Abdillah al-Awdi, ia berkata, “Aku menyaksikan Abu Umamah waktu beliau mendekati kematiannya, ia berkata, “Jika nanti aku meninggal, maka perbuatlah diriku sebagaimana apa yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila meninggal seseorang dari saudara kamu, maka kalian sudah meratakan tanah diatas kuburnya, maka hendaklah salah seorang kamu berdiri diatas kuburnya, kemudian ia mengatakan :”Wahai fulan bin fulanah” maka bahwasanya mayyit berkata, “Berilah kami petunjuk, semoga Allah memberikan rahmat kepadamu” tetapi kamu tidak menyadari ucapannya tersebut. Maka hendaklah ia mengatakan, “Ingatlah keadaan ketika engkau keluar dari dunia yaitu syahadah (pengakuan) bahwa tiada tuhan kecuali hanya Allah dan bahwasanya Nabi Muhammad hamba-Nya dan utusan-Nya. Dan engkau ridha Allah sebagai Rabb mu, islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai Nabimu, al-Qur’an sebagai imammu. Bahwasanya malaikat Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan keduanya, sambil mengatakan, “Mari kita pergi, tiada ada gunanya kita duduk disisi orang yang sudah diajarkan (ditalqinkan) hujjahnya, maka Allah adalah hujjahnya dihadapan keduanya.” Maka salah seorang shahabat bertanya, “Ya Rasulallah, maka jika ia tidak mengetahui nama ibunya?” Rasulullah menjawab, “Maka hendaklah ia menyandarkannya kepada Hawwa, wahai fulan bin hawwa.”[9] (HR. ath-Thabarani)

     Menurut ulama hadist bahwa hadist Abi Umamah ini tergolong hadist dhoif, sedangkan hadist dhoif tidak bisa dijadikan dalil hukum. Akantetapi ulama, terutama ulama dari kalangan mazhab syafi’I tetap memfatwakan bahwa talqin hukumnya sunnah. Hal ini dikarenakan :

1.  Hadist tentang talqin ini tergolong dalam fadhail amal (kelebihan amal) yang mengandung bacaan do’a dan zikir. Hal ini terlihat pada frasa kata, “Mari kita pergi, tiada ada gunanya kita duduk disisi orang yang sudah diajarkan (ditalqinkan) hujjahnya, maka Allah adalah hujjahnya dihadapan keduanya.”
Menurut para ulama, bahwa hadist dhoif ini boleh digunakan untuk fadhilah amal.
Imam an-Nawawi mengatakan dalam kitab al-Azkar:
قَالَ الْعُلَمَاءُ مِنَ الْمُحَدِّثِيْنَ وَالْفُقَهَاء وَغَيْرِهِمْ : يَجُوْزُ وُيُسْتَحَبُّ الْعَمَلُ فِي الْفَضَائِلِ وَالتَّرْغِيْبِ وَالتَّرْهِيْبِ بِالْحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ مَا لَمْ يَكُنْ مَوْضُوْعًا وَأَمَّا الْأَحْكَامُ كَالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ وَالْبَيْعِ وَالنِّكَاحِ وَالطَّلَاقِ وَغَيْرِ ذَلِكَ فَلَا يُعْمَلُ فِيْهَا إِلَّا بِالْحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ أَوْ الْحَسَنِ
“Berkata ulama dari kalangan ahli hadist (Muhaddistin) dan ahli fiqih (Fuqahaa) dan selain mereka, “Boleh dan sunnah beramal dengan hadist dhoif untuk fadhilah amal, untuk targhib (memberikan gairah untuk beramal kebaikan dengan pahala atau syurga), dan tarhib (memberikan ketakutan untuk maksiat dengan siksa dan neraka), selama hadist itu tidak tergolong palsu (maudhu’). Adapun masalah hukum seperti halal-haram, jual beli, nikah, thalaq dan selainnya, maka tidak boleh menggunakan hadist dhoif, tetapi harus memakai hadist shohih atau hadist hasan.” [10]
2.  Kedhoifan hadits Abi Umamah ini, ternyata didukung oleh hadist shohih, sehingga derajatnya yang semula dhoif, naik derajatnya menjadi hasan lighairihi. Karena itu, dapat dijadikan sebagai landasan dalil hukum, dalam hal ini, hadist Abi Umamah dapat dijadikan sandaran hukum akan sunnahnya hukum talqin.
Syeikh Khatib Syarbini mengatakan dalam kitab al-Iqna :
وَالْحَدِيْثُ وَإِنْ كَانَ ضَعِيْفاً لَكِنَّهُ اعْتُضِدَ بِشَوَاهِدَ مِنَ الْأَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ وَلَمْ تَزَلِ النَّاسُ عَلَى الْعَمَلِ بِهِ مِنَ الْعَصْرِ الْأَوَّلِ فِيْ زَمَنِ مَنْ يُقْتَدَى بِهِ
“Dan hadist ini, sekalipun ia dhoif, tetapi ia telah didukung dan dikuatkan oleh beberapa hadist shahih lainnya, dan senantiasa orang-orang mengamalkan talqin itu mulai masa terdahulu yaitu pada masa orang yang pantas diikuti.”"[11]

Diantara ayat yang mendukung hadist Abu Umamah r.a adalah firman Allah swt dalam surah az-Zariyaat ayat 55 :
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الدِّكْرٰى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ
 “Dan tetaplah memberi peringatan, Karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.”

Dalam masalah talkin, asy-Syeikh Abu Bakar Syatha menjadikan ayat tersebut sebagai dalil bagi sunnahnya talkin, karena keadaan orang yang mati di dalam kubur lebih berhajat dan memerlukan peringatan. Dan peringatan itu bermanfaat bagi orang yang beriman, termasuk orang yang beriman yang sudah mati.
Untuk itu, mari kita buka kitab I’anatuth Thalibin juz 2 halaman 140 sebagai berikut :
وَذٰلِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالٰى : وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَ تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ. وَأَحْوَجُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ اِلٰى التَّذْكِيْرِ فِيْ هٰذِهِ الْحَالَةِ
“Dan demikian itu (yakni sunnahnya talkin bagi orang yang baligh) karena firman Allah swt : “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman” Dan Sangat dihajatkan peringatan itu oleh seorang hamba adalah pada keadaan ini (keadaan setelah dikubur)”
Diantara hadist yang mendukung hadist Abu Umamah adalah : Hadist yang diriwayatkan oleh imam Abu Daud dari Ustman bin ‘Affan rda :
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ: اسْتَغْفِرُوا لأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ فَإِنَّهُ الآنَ يُسْأَلُ (رواه ابو داود)
“Dari Ustman bin ‘Affan rda, ia berkata ,”Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila selesai menguburkan mayyit, beliau berhenti sebentar dan bersabda, “Mintakanlah ampunan saudaramu ini dan mohonkanlah supaya dia diberikan tatsbit (kemantapan menjawab pertanyaan) karena sesungguhnya dia sekarang sedang ditanya.” (HR. Abu Daud).
Hadist ini dapat dipahami bahwa mayyit akan ditanya oleh malaikat dan mayyit akan mendapatkan pertolongan dengan memintakan keampunan baginya dan memintakan kemantapan baginya untuk menjawab pertanyaan malaikat tersebut.
Sementara talqin itu, berisi ucapan-ucapan yang mengandung memohonkan ampun dan kemantapan baginya untuk menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir.
3.  Apalagi ternyata ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa hadist Abi Umamah ini tergolong hadist yang sanadnya baik dan sebagai hadist yang kuat sehingga bisa dijadikan sebagai landasan hukum. Diantara ulama yang menyatakan hadist ini kuat karena sanadnya baik adalah imam asy-Syaukani (seorang pakar hadist), dan imam al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani (pakar hadist penyarah shahih Bukhari dengan kitabnya Fathul Barii). Ini bisa dilihat dalam kitab Nailul Authar karya imam Asy-Syaukani.
Imam adh-Dhiya’ juga menyatakan bahwa hadist Abi Umamah ini kuat. Sebagaimana yang disebutkan asy-Syeikh KH. Ali Ma’shum dalam kitab Hujjatu Ahlissunnah Waljama’ah :
هٰذَا الْحَدِيْثُ اِسْنَادُهُ جَيِّدٌ وَاَيَّدَهُ الضِّيَاءُ فِيْ كِتَابَيْهِ الْمُخْتَارَةِ وَالْاَحْكامِ.
“Hadist Abi Umamah itu isnadnya baik dan imam adh-Dhiya’ telah menguatkannya dalam dua kitabnya yang bernama “al-Mukhtarah” dan “al-Ahkam”.[12]
Adapun terkait dengan firman Allah swt dalam surah al-Fathir ayat 22 sering dijadikan dalil untuk menolak talqin) :
وَمَا يَسْتَوِى الْأَحْيَاءُ وَلَا الْأَمْوَاتُ. إِنَّ اللهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ. وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِى الْقُبُوْرِ.
 “Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar[13]

Maka menurut ulama tafsir, arti dari firman Allah swt “Man fil qubuur” adalah “Orang-orang kafir” bukan “Orang yang di dalam kubur”. Jadi itu merupakan kata kiasan saja.

Untuk lebih jelasnya, sekarang mari kita perhatikan penjelasan asy-Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Banteni al-Makki  tela’ah dalam menerangkan arti ayat tersebut :
أَيْ وَمَا اَنْتَ يَا أَشْرَفَ الْخَلْقِ بِمُفْهِمِ مَنْ هُوَ مِثْلُ الْمَيِّتِ الَّذِيْ فِى الْقُبُوْرِ. شَبَّهَ اللهُ الْكُفَّارَ بِالْمَوْتٰى فِيْ عَدَمِ التَّأَثُّرِ بِدَعْوَتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Dan tidaklah Engkau wahai semulia-mulia makhluk (Nabi Muhammad saw) mampu menjadikan faham orang-orang dia seperti mayyit dalam kubur. Allah swt menyerupakan orang-orang kafir dengan orang yang mati karena ketiadaan member pengaruh terhadap dakwah Rasulullah saw.”[14]

Demikian juga diterangkan dalam kitab tafsir “Khazin” :
يَعْنِى الْكُفَّارَ. شَبَّهَهُمْ بِالْاَمْوَاتِ فِى الْقُبُوْرِ لِأَنَّهُمْ لَا يُجِيْبُوْنَ اِذَا دُعُوْا
“Yakni (maksudnya Man fil qubuur) adalah orang-orang kafir. Allah menyerupakan mereka dengan orang yang mati di dalam kubur sebab mereka tidak menjawab (seruan dakwah) apa mereka diseru.”

Dengan demikian ayat ini tidak bisa dijadikan dalil untuk menolak talkin, apalagi sampai membid’ahkannya atau menghukumkannya haram. Ayat ini tidak ada kaitannya dengan orang yang mati di dalam kubur, tetapi berkaitan dengan orang-orang kafir yang desrupakan Allah swt seperti orang mati dikarenakan penolakan mereka terhadap seruan dakwah Rasulullah saw seperti yang diterangkan oleh ulama tafsir yang mu’tabarah.

Beberapa Perkara Yang Berkaitan Dengan Talkin :

1.  Tidak disunnahkan talkin bagi anak-anak karena anak-anak tidak ditaklif (dibebani) dalam pelaksanaan syari’at baik itu berupa perintah maupun berupa larangan, sehingga mereka tidak difitnah dalam kubur. Demikian juga tidak disunnahkan talkin bagi orang gila yang tidak didahului oleh taklif syari’at. Adapun orang gila yang didahului oleh taklif syari’at, maka tetap disunnahkan talkin.
2.  Disunnahkan mengulangi talkin itu sebanyak 3 kali.
3.  Lebih utama bagi yang menghadiri dan mendengarkan bacaan talkin itu dalam keadaan berdiri, sedangkan yang membaca talkin dalam keadaan duduk di sisi kepalanya supaya mayyit lebih hampir mendengarkan talkin.
4.  Lebih utama memanggil mayyit pada talkin itu dengan panggilan ibunya jika ia mengetahui nama ibunya sebab hal itu lebih menjinakan hatinya, seperti Zaid bin Fathimah. Jika ia tidak mengetahui nama ibunya, maka dengan nama “Hawwa” seperti Zaid bin Hawwa.
5.  Adapun bahasa talkin, apakah dengan bahasa arab atau dengan bahasa si mati, maka hal itu tidak jadi masalah, sebab para ulama berbeda pendapat tentang bahasa yang dipakai oleh malaikat Munkar dan Nakir ketika menanyai mayyit, apakah dengan bahasa arab atau dengan bahasa diri si mati.
a.    Menurut imam Jalaluddin as-Sayuthi dengan bahasa Farsia.
b.    Menurut imam al-Bulqini dengan bahasa suryani.
c.    Menurut imam al-Hafizh Ibnu hajar al-haitami dengan bahasa diri si mati.
d.    Menurut imam Ibnu hajar al-Qasthalani dengan bahasa arab.
Walaupun demikian, maka hendaklah kaum muslimin untuk saling menghargai dan menghormati setiap perbedaan pendapat terkait dengan masalah talkin ini.


[1] A.W. Munawwir. Kamus al-Munawwir, halaman 1282.
[2] Asy-Syeikh Muhammad Nawawi al-Banteni , Fathul Majid Fii Syarhi ad-Durari al-Fariid. Hal. 50. Cet. Al-Haramain
[3] Imam an-Nawawi. Al-Azkar  an-Nawawiyyah. Hal. 162. Cet. Darul Fikr.
[4] Imam Muhammad asy-Syarbini al-Khatib. Al-Iqna’, 1/183. Cet. Al-Hidayah.
[5] Imam Ibnu Hajar al-Haitami. Tuhfatul Muhtaj.
[6] Imam Muhammad ar-Ramli. Nihayatul Muhtaj. 8/400. Maktabah Syamilah.
[7] Asy-Syeikh Muhammad Nawawi al-Banteni. Nihayatuzzain. Halaman 162. Cet. Dar al-Ilmi Surabaya
[8] Asy-Syeikh DR. Wahbah az-Zuhaili. Fiqh al-Islam waadillatuhu. 2/598. Maktabah Syamilah.
[9] At-Thabarani. Al-Mu’jam al-Kabiir. 7/287. Maktabah Syamilah.
[10] Imam an-Nawawi. Al-Azkar an-Nawawiyyah. Hal. 8. Cet. Dar al-Fikr.
[11] Imam Muhammad asy-Syarbini al-Khatib. Al-Iqna’. 1/183. Cet. Al-Hidayah
[12] KH. Ali Ma’shum. Hujjatu Ahlissunnah Waljama’ah. Halaman :
[13] Menurut tafsir terjemah Departemen Agama, maksudnya adalah: Nabi Muhammad tidak dapat memberi petunjuk kepada orang-orang musyrikin yang Telah mati hatinya
[14] Asy-Syeikh Muhammad Nawawi al-Banteni. Tafsir Marah Labiid. Juz 2 halaman 202

Tidak ada komentar:

Posting Komentar