Hukum Azan Dan Iqamah Kepada Mayyit Saat
Penguburannya[1]
Adapun hukum di-azani- dan di-iqamati-nya jenazah disaat ia mau
dikuburkan, maka para ulama dari kalangan mazhab Syafi’iyyah berbeda pendapat,
yaitu :
1.
Hukumnya adalah sunnah karena diqiyaskan kepada
sunnahnya azan dan iqamah disaat anak baru lahir, maka kelahiran merupakan awal
masuk ke dalam dunia, sedangkan kematian merupakan akhir keluar dari dunia.
Pendapat inilah yang banyak dilakukan oleh warga masyarakat terutama yang
bermazhab Syafi’i.
2.
Hukumnya tidak sunnah, sebab tidak ditemukan
dalil yang menunjukkan kesunnahannya.
Dalam kitab I’anatuth Thalibin, disebutkan :
وَاعْلَمْ اَنَّهُ لَا يُسَنُّ الْاَذَانُ عِنْدَ دُخُوْلِ
الْقَبْرِ خِلَافًا لِمَنْ قَالَ بِسُنَّتِهِ قِيَاسًا لِخُرُوْجِهِ مِنَ الدُّنْيَا
عَلَى دُخُوْلِهِ فِيْهِ
“Ketahuilah bahwasanya tidak disunnahkan azan ketika memasukan
mayyit ke dalam kubur, berbeda dengan pendapat yang menyatakan dengan
kesunnahannya sebab diqiyaskan bagi keluarnya ke dunia atas masuknya seseorang
ke dunia (saat dilahirkan).
Kitab Hasyiyah al-Bajuri, :
وَلَا يُسَنُ الْاَذَانُ عِنْدَ اِنْزَالِ الْمَيِّتِ
الْقَبْرَ خِلَافًا لِمَنْ قَالَ بِسُنِّيَّتِهِ حِيْنَئِذٍ قِيَاسًا لِخُرُوْجِهِ
مِنَ الدُّنْيَا عَلَى دُخُوْلِهِ فِيْهَا
“Dan tidak disunnahkan azan ketika menurunkan mayyit ke dalam
kubur, berbeda dengan orang yang mengatakan dengan sunnahnya, sebab diqiyaskan
kepada keluarnya mayyit dari dunia atas masuknya ke dunia (saat ia dilahirkan).
Dalam kitab Tuhfah, karya Ibnu Hajar al-Haitami :
وَاعْلَمْ اَنَّهُ لَا يُسَنُ الْاَذَانُ عِنْدَ دُخُوْلِ
الْقَبْرِ خِلَافًا لِمَنْ قَالَ بِسُنِّيَّتِهِ حِيْنَئِذٍ قِيَاسًا لِخُرُوْجِهِ
مِنَ الدُّنْيَا عَلَى دُخُوْلِهِ فِيْهَا. قَالَ اِبْنُ حَجَرٍ وَرَدَدْتُهُ فِىْ
شَرْحِ الْعُبَّابِ لَكِنْ اِذَا وَافَقَ اِنْزَالُهُ الْقَبْرَ اَذَانًا خُفِّفَ عَنْهُ
فِى السُّؤَالِ.
“Dan ketahuilah bahwasanya tidak disunnahkan azan ketika
memasukan mayyit ke dalam kubur, berbeda dengan pendapat yang menyatakan dengan
kesunnahannya sebab diqiyaskan bagi keluarnya ke dunia atas masuknya seseorang
ke dunia (saat dilahirkan). Berkata Ibnu Hajar dan aku ulangi perkataan itu
dalam Syarah al-‘Ubbab, tetapi jika sewaktu penguburan mayyit tadi bersamaan
dengan azan, diringankan mayyit itu pada menjawab pertanyaan (Malaikat Munkar
Nakir dalam kubur).
Demikian juga disebutkan dalam kitab Fatawa al-Kubra, karya Ibnu
Hajar al-Haitami, yaitu ketika beliau ditanya tentang hukum azan dan iqamah
ketika mayyit di liang lahat, setelah beliau menjawab pandangan beliau bahwa
hukumnya adalah bid’ah, beliau mengatakan mengutip fatwa al-Ashbakhi :
….اِلَّا
شَيْئًا يُحْكٰى عَنْ بَعْضِ الْمُتَأَخِّرِيْنَ اَنَّهُ قَالَ لَعَلَّهُ مَقِيْسٌ
عَلَى اسْتِحْبَابِ الْاَذَانِ وَالْاِقَامَةِ فِىْ اَذَانِ الْمَوْلُوْد
“….Hanya saja ada diceritakan oleh sebagian Mutaakhkhirin (yakni
hukumnya sunnah) bahwa barangkali ini diqiyaskan pada sunnahnya azan dan iqamah
pada dua telinga anak yang baru dilahirkan.
Kesimpulannya :
karena masalah ini terdapat khilafiyyah (perbedaan pendapat) dari
kalangan ulama terkait hukum azan dan iqamah disaat memasukan mayyit dalam
kubur, maka hendaklah untuk saling menghormati dan menghargai satu sama yang
lainnya, tidak dibenarkan untuk saling membid’ahkan apalagi saling
mengkafirkan, karena hal itu jelas terlarang dalam islam.
Hukum Merubah Lafaz Iqamah
Sebagian orang ada yang mengubah lafaz iqamah disaat mayyit di
kuburkan yaitu pada lafaz qad qaamatish shalaah diubah menjadi qad qaamatil
qiyaamah, dengan alasan bahwa mayyit itu mengalami qiyamat sughra, atau bahwa
mayyit itu lebih hampir mengalami qiyamat kubra. Maka menurut penulis bahwa tidak
sepantasnya kita mengubah lafaz iqamah dengan alasan-alasan tersebut, sebab
lafaz dan iqamah itu adalah tauqifi yakni berdasarkan wahyu dari Allah swt[2]. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadist
riwayat imam Abu Daud, ketika Umar bin Khattab r.a memberitahukan tentang
mimpinya terkait dengan lafaz azan dan iqamah, Rasulullah saw bersabda :
سَبَقَكَ
بِهَا الوَحْيُ
“Wahyu telah
mendahului engkau dengannya”
Dalam kitab Hawasyi asy-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj lisy-Syeikh
Abdul Hamid asy-Syarwani disebutkan :
...بِأَنْ
جَعَلَهُ بَدَلَ الْحَيْعَلَتَيْنِ لَمْ يَصِحَّ أَذَانُهُ (لَمْ يَصِحَّ أَذَانُهُ)
وَالْقِيَاسُ حِيْنَئِذٍ حُرْمَتُهُ لِأَنَّهُ بِهِ صَارَ مُتَعَطِّيًا لِعِبَادَةٍ
فَاسِدَةٍ ع ش
“…Dengan bahwa menjadikannya[3]
sebagai ganti lafaz ha’alatain[4],
maka tidak sah azannya. (Tidak sah azannya) dan qiyas ketika itu adalah
keharamannya, sebab bahwasanya dengannya itu, jadilah ia orang yang melakukan
ibadah yang rusak (batal).”
Pendapat asy-Syeikh Abdul Hamid asy-Syarwani ini terkait hukum mengganti
salah satu lafazh azan, ini bisa kita qaiyaskan kepada hukum mengganti lafazh
iqamah.
Demikian tulisan singkat ini, semoga menjadi dasar bagi kita untuk
tetap saling menghormati dan menghargai pendapat. Perbedaan itu insyaallah akan
membawa kepada kedamaian dan rahmat asalkan kita mau saling menghormati. Saling
membid’ahkan, mensesatkan, dan mengkafirkan, hanyalah menyebabkan kerusakan,
dan perpecahan.
Wallahu a’lam bish shawab.
[1] Tulisan ini belum disempurnakan. Tulisan ini hanyalah tanggapan
sebagian orang yang mempermasalahkan azan iqamah disaat mayyit di kuburkan,
bahkan dianggapnya bid’ah dhalalah.harapan saya supaya untuk saling menghormati,
terlebih ini hanya masalah furu’iyyah fiqhiyyah.
[2]
Mengubah ibadah yang sudah tauqifi dari Allah dan Rasul-Nya merupakan perbuatan
bid’ah sayyi’ah (bid’ah yang jelek)
[3] Maksudnya
adalah seperti lafazh “Hayya ‘Alaa Khairil ‘Amal”
[4] Yakni
lafazh “Hayya ‘Alash Shalah” dan lafazh “Hayya ‘Alal Falah”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar